MANAJEMEN BISNIS KATERING

Written by Economic and Business Sharia Law on Jumat, 11 September 2009

A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Puji sukur kehadirat Allah Swt, shalawat serta salam senantiasa kita sampaikan keharibaan baginda Rasulullah Saw. Karena dengan Ridlo-Nya kita mampu menyebarluaskan ayat-ayat mu'amalah yang suci dan sakral menjadi sebuah kontruksi bangunan indah yang megah dan bersih dan dengan semangat perjuangan membela yang benar serta berpihak pada rakyat kecil yang telah diusung oleh Nabi akhir zaman ini telah menjadikan wacana suci menjadi sebuah ide dan gagasan yang berarti dan mempunyai nilai-nilai Ruhaniyah yang mulia.


Di tengah-tengah kondisi perekonomian kita yang memprihatinkan ini, kita selayaknya melangkahkan kaki dengan diiringi do'a dan kepasrahan diri kepada yang Maha Kuasa untuk merubah kondisi yang menyesakkan dada kita ini menjadi kondisi yang kondusif dan dinamis. Seiring dengan detak nadi pembangunan pemerintahan kali ini yang mencoba memfokuskan pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan meningkatkan produktifitas dan permodalan guna pemberdayaan para pengusaha kecil yang selama orde baru termarginalkan dengan sistem yang korup. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah membuktikan yang paling bertahan kuat ditengah arus kondisi perekonomian bangsa ini yang telah porak poranda oleh sistem perekonomian yang tidak membumi, dan tidak memperhatikan nilai-nilai ruhaniyah sumber daya insaniyyah yang suci dan mulia.
Dan pada tahun 2005 yang lalu pemerintah bangsa Indonsia mencanangkan sebagai tahun pengembangan Usaha Mikro dan Kecil bagi Masyarakat, guna menyikapi kondisi pasar saat in yang semakin memperdulikan terhadap kondisi perekonomian masyarakat kecil yang secara ekonomi tertinggal dan dalam kondisi yang fakir dan miskin ini diharapkan masyarakat mampu merubah kondisinya sendiri dengan mencoba mengambangkan usaha-usaha yang telah ada disekitar lingkungannya yaitu dengan mengembangakan sumber daya yang sudah ada, baik semberdaya alamnya maupun sumber daya manusia yang ada.
Di era ekonomi mikro saat ini kita mencoba membaca kondisi perekonomian kita yang masih sangat memprihatinkan, kita selayaknya memang harus membangkitkan optimisme bahwa perekonomian kita masih dapat kita tingkatkan melalui pengembangan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pengalaman kita selama krisis membuktikan bahwa kegiatan ekonomi rakyat kecil dalam bentuk UMKM merupakan bagian terbesar dalam kegiatan ekonomi rakyat yang lebih bertahan.
Daya tahan UMKM tersebut tercipta karena mereka tidak banyak ketergantungan memiliki faktor eksternal, seperti hutang dalam valuta asing dan bahan baku impor dalam melakukan kegiatannya. Dengan keunggulan yang spesifik antara lain berupa kandungan lokal yang besar dalam kegiatan produksi, orientasi pemasaran di dalam negeri dan harga yang terjangkau oleh konsumen, UMKM merupakan bagian yang sangat berarti dan penting dalam perekonomian Nasional. Dalam rangka itu maka salah satu strategi pemulihan ekonomi Nasional adalah memberdayakan UMKM, yang harus didukung oleh semua pihak, pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Salah satu dari UMKM tersebut adalah Kelompok Usaha Mu'amalah (Pokusma) atau home industry. Sebagai ilustrasi saja kita coba menengok keberhasilan beberapa Kelompok Usaha Mu'amalah (Pokusma) yang sukses dalam mengelola keuangan masyarakat secara Syari'ah dan Manajemen lembaga yang SAFTI (Shiddiq, Amanah, Fathonah, Tabligh, dan Ikhlas), sehingga dapat menolong masyarakat dari jeratan para retenir yang kapitalistik, dan merubah kondisi ekonomi masyarakat yang sejahtera dan memiliki produktifitas dan kreatifitas, serta permodalan yang kuat dan suistainable.
Dengan semangat pemberdayaan sektor riil dengan menggerakkan kelompok-kelompok usaha kecil dan menengah perlu kiranya kita mengetahui dasar philosopy dari semangat pemberdayaan tersebut. Adapun semangat tersebut adalah dengan kebangkitan dan keruntuhan bangunan perekonomian suatu bangsa (kaum) tergantung pada sikap dan tindakan mereka sendiri, maksudnya kemiskinan hanya bisa dientaskan oleh orang miskin itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang membantu seperti Pemerintah, Swasta, maupun Organisasi-organisasi yang bergerak dalam pemberdayaan ini hanya memfasilitasi segala bentuk usaha dan pemberdayaannya. )
Sebagaimana bunyi firman Allah Swt dalam surat al-Ra'du ayat 11, yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سَوَءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَالٍ (الرّعد: 11)

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia". (al-Ra'du : 11)

Oleh karena itu, dalam konteks pemberdayaan (empowerment) terhadap para pengusaha mikro dan menengah berbasis Syari'ah, pemberdayaan yang mengacu pada nilai-nilai Syar'i ini baik dalam definisi yang spesifik dalam nash maupun pendapat para ulama, maupun dalam konteks pemberdayaan lembaga keuangan micro finance secara luas sangat diperlukan dalam era Indonesia baru. Salah satu jalan utama untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai non-ribawi adalah melalui proses pemahaman dan kesadaran tentang sistem keuangan syari'ah dapat diwujudkan.
Membangun gerakan ekonomi kerakyatan berbasis Syari'ah sangat strategis dibangun di Yogyakarta, karena daerah ini memiliki aset lembaga pendidikan pendidikan, seperti perguruan Muhammadiyah, Pesantren-pesantren. Melalui modal sosial yang terbangun menjadi momentum besar dalam rangka memberikan kontribusi bagi pembentukan kesadaran umat untuk jangka panjang, serta menjadi chapacity building bagi penyebaran (Syi'ar) Islam dengan pengejawantahan niali-nilai Syar'i-Mu'amalah.
Oleh karena itu, kami mencoba menawarkan beberapa tahapan konsep dalam mewujudkan pendirian Kelompok Usaha Mu'amalah (Pokusma) yaitu dalam "Revitalisasi Makanan Tradisional Dan Modern Yang Sehat dan Halal". Adapun yang menjadi landasan dasar kami dalam merealisasikan rencana besar dan mulia ini adalah bagaimana bisa mensyiarkan nilai-nilai Syari'at Islam di masyarakat dalam mengelola keuangan yang maslahat untuk agama, bangsa, dan masyarakat. Selain itu pula kami mencoba mengembangkan program ini dengan mengkaji sumber-sumber kajian ekonomi Islam dari para Ulama terdahulu (salafush-sholeh) dengan referensi (maroji') yang mu'tabar.
Pada akhirnya, internalisasi nilai-nilai Syara' melalui pemberdayaan terhadap lembaga ekonomi mikro Syari'ah dan menengah serta aksi-aksi Mu'amalah yang non-ribawi dapat mendorong terciptanya tata perekonomian bangsa yang menjadi kokoh dan bersih dari praktek usaha yang tidak diridloi oleh Allah Swt.

2. ALASAN PENDIRIAN
Proposal usaha (bisnis) katering dalam rangka “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Gizi Makanan Yang Halal dan Jauh Dari Praktek Ribawi” adalah kegiatan usaha (bisnis) yang independen dan mandiri yang memfokuskan kegiatannya pada implementasi (aktualisasi) skill life dalam hal usaha riil yang menjadi komoditi pokok masyarakat saat ini dengan cara pengolahan makanan dan kue yang sehat dan menggunakan bahan-bahan yang telah mendapatkan Sertfikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan diakui oleh Badan POM Nasional Propinsi Yogyakarta, selain itu juga untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) dengan upaya revitalisasi peran Kelompok Usaha Mu'amalah (POKUSMA) terhadap pembentukan masyarakat (character building) yang sholeh secara keagamaan dan sholeh secara sosial.
Diharapkan juga dengan pengembangan jaringan (networking) tersebut kepada semua elemen usaha riil yang dimiliki Propinsi Yogyakarta, dengan senantiasa melaksanakan internalisasi nilai-nilai Syara' melalui pemberdayaan terhadap lembaga ekonomi mikro Syari'ah dan menengah serta aksi-aksi Mu'amalah yang non-ribawi dapat mendorong terciptanya tata perekonomian bangsa yang menjadi kokoh dan bersih dari praktek usaha yang tidak diridloi oleh Allah Swt.

3. TUJUAN PENDIRIAN
Dalam Usaha (bisnis) katering mengandung maksud adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suatu hasil dalam suatu tujuan tertentu. Adapun tujuan diadakan usaha ini adalah:
1. Optimaslisasi keluarga yang sehat sejahtera dalam Gerakan Ekonomi Dan Bisnis Riil Kerakyatan Berbasis Syari'ah yang standar "Sertifikat Halal" MUI dan Badan POM Nasional Yogyakarta.
2. Melahirkan Kader-kader terampil dan intelektual dalam pemberdayaan masyarakat dan pengembangan masyarakat dalam Gerakan Ekonomi Dan Bisnis Riil Kerakyatan Berbasis Syari'ah di Yogyakarta.
3. Mencari formulasi makanan (Cakes and Foods) dalam mengimplementasikan Usaha Katering dalam “Membangun Gerakan Ekonomi Dan Bisnis Riil Kerakyatan Berbasis Syari'ah Di Daerah Istimewa Yogyakarta”.

B. KELEMBAGAAN PERUSAHAAN
a. STATUS PERUSAHAAN
1) Nama : CV. Hakeem's Catering
2) Kedudukan : Yogyakarta
3) Bentuk Hukum : Perusahaan
4) Bidang Usaha :
a. Pemesanan Makanan Siap Saji (Foods gathering) & Berbagai Macam Kue-kue (Cakes).
b. Penyewaan alat-alat Pesta, seperti: Pesta Pernikahan, dan Pertemuan-pertemuan Penting.
c. Pengelolaan suatu even / kegiatan (Event Organizer), seperti : EO Pernikahan, EO Acara-acara penting lainnya.

b. PERMODALAN
1) Modal dasar
a. Modal Dasar CV. Hakeem's Catering, sebesar
Rp. 50.000.000,00.,- (Lima puluh juta rupiah), yang meliputi:
Berupa Uang Cash : Rp. 36.000.000,00.,-
Berupa Peralatan : Rp. 14.000.000,00.,-
b. Bakat dan kemampuan (skill life) dalam usaha (bisnis) katering yaitu memasak dan membuat kue-kue.
c. Perlatan usaha (bisnis) katering.
d. Perizinan usaha (bisnis) katering.
2) Modal disetor
Daftar Pemilik Modal CV. Hakeem Catering
No Nama Pemilik Modal
1.
2.
3.
4 Dr. H. Hasyimi M. Tanjung, SE., M.SI
A. Syihabuddin, S.Ag
Siti Nurkilah, S.Ag
Abdurrahman Hakim, S.HI., M.SI Rp. 15.000.000,00.,-
Rp. 10.500.000,00.,-
Rp. 5.500.000,00.,-
Rp. 5.000.000,00.,-
Jumlah Rp. 36.000.000,00.,-

c. SUSUNAN PENGURUS
Pengurus perusahaan terdiri dari:
1) Penasehat : Dr. H. Hasyim M. Tanjung, SE., M.SI
2) Penanggung Jawab : A. Syihabuddin, S.Ag
3) Direktur Utama : Abdurrahman Hakim, S.HI., M.SI
4) Direktur : Novianty D.S. Wulandari, S.Pd
d. DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Dalam usaha (bisnis) katering ini kami mendapatkan Sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DIY serta mendapatkan standar lisensi produk makanan dan kue dari Badan POM Nasional DIY.

e. PENGORGANISASIAN USAHA
1) Penyediaan Sumber Daya Manusia
a. Mengelola Pikiran Manusia
b. Karakteristik Manusia
c. Karakteristik Sistem Personality Bisnis
2) Struktur Organisasi
STRUKTUR ORGANISASI
CV. HAKEEM'S CATERING















C. ANALISIS POTENSI /KEJENUHAN
a. Demografi
Dalam menganalisa potensi kependudukan Kota Yogyakarta, yaitu berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, penduduk Kota Yogyakarta berjumlah 397.398 orang yang terdiri dari 194.530 orang (48,95 peren) laki-laki dan 202.868 orang (51,05 persen) perempuan. Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk periode tahun 1990-2000 sebesar -0,37 persen.
Berdasarkan hasil proyeksi sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk tahun 2006 tercatat 443,112 orang, dengan komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah 48,94 persen laki-laki dan 51,06 persen perempuan.
Jumlah pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2006 sebanyak 20.579 orang yang terdiri dari 12.116 laki-laki dan 8.463 perempuan. Sebagain besar dari pencari kerja tersebut berpendidikan sarjana yaitu 58,07 persen, kemudian SMU (31,43 persen), Diploma (8,06 persen) dan sisanya berpendidikan S2, SMTP, dan SD.
Tahun
Year Jumlah Penduduk
Population (Jiwa/Lives) Kepadatan/Density (Jiwa/Km2)
(Lives/ Km2) Pertumbuhan Penduduk
Population Growth
(%)
(1) (2) (3) (4)
1971 340,908 10,489 0,90
1980 398,192 12,252 1,72
1990 412,059 12,579 0,35
1995 *) 418,944 12,891 0,33
2000 397,398 12,228 -0,37
2005*) 435,236 13,392 1,87

b. Potensi Ekonomi Wilayah
Ekspor komoditas bukan migas Kota Yogyakarta pada Tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 36,042. 571 US$ tahun 2005 menjadi 25,930, 827US$ di tahun 2006. sebagian besar ekspor Kota Yogyakarta berasal dari Industri kerjainan tangan yang pada umumnya memiliki ciri khas dari suatu daerah, sehingga sulit untuk ditiru dan menjadikan komodits tersebut dapat bersaing di pasar Amerika maupun Eropa.
Sarana prasarana kegiatan perekonomian Kota Yogyakarta salah satunya daalah Pasar yang menenmpati lahan seluas 122,310 m2 dengan 14,439 pedagang. Dalam hal food supply Kota Yogyakarta selama kurun waktu 2006 dapat dikatakn cukup, bahkan melebihi kebutuhan yang dikonsumsi masyarakat Kota Yogyakarta.

c. Potensi Perusahaan
Kota Yogyakarta memiliki potesi yang dari tahun ketahun mengalami pertumbuhan yang siginifakan dalam perdagangan terbukti dari tabel berikut ini:
Tabel Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) di Kota Yogyakarta

Tahun
Year TDUP
Business Register Marks SIUP
Business Licence
(1) (2) (3)
2004 - 381
2005 - 505
2006 - 452

D. RENCANA PRODUK YANG DIHASILKAN
Dalam perencanaan produk dibutuhkan proses produksi yaitu pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi beberapa makanan yang siap dihidangkan melalui kegiatan memasak. Adapun aktivitas produksi yang harus tersedia:
a. Proses Produksi
1) Bahan mentah (bahan baku dan bahan pembantu)
2) Peralatan memasak
3) Tempat memasak/dapur
4) Tenaga kerja
Sedangkan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1) Pilihan proses produksi
2) Penggunaan menu-resep masakan
3) Quality control
4) Penghematan energi
5) Efisiensi tata letak ruang
6) Pengendalian pembeli/penggunaan bahan

b. Perencanaan Produksi
Kebijakan Pelaksanaan Produksi meliputi:
1) Disusun setelah diketahui jumlah dan jenis pesanan (order)
2) Kegiatan produksi berdasarkan pesanan yang diterima
3) Surat perintah kerja (jumlah besar)
4) Faktur dan pesanan (jumlah kecil)
Kebijakan Pelaksanaan Produksi tersebut dibagi menajdi 2 (dua) yaitu:
1. Kebijakan Pelaksanaan Produksi Eksternal meliputi:
a) Desain dan cara produksi/penyajian ditetapkan berdasarkan permintaan konsumen
b) Persyaratan dapur yang baku menyangkut kebesihan, sanitasi, saluran pembuangan kotoran, tempat sampah, warna dinding/lantai yang cerah.
c) Susunan/kelengkapan peralatan, tata letak dapur, penerangan, saluran air minum, cucian.
d) Pelayanan terhadap konsumen dalam memenuhi permintaan konsumen.
e) Berusaha memproduksi makanan tepat waktu, sesuai perjanjian
2. Kebijakan Pelaksanaan Produksi Internal meliputi:
a) Jenis peralatan dalam pelaksanaan produksi.
b) Tenaga bagian produksi, melalui proses perekrutan dengan kontrak kerja.
c) Upah bagian produksi berdasarkan skala waktu/sesuai kesepakatan harian, mingguan, bulanan merangsang tenaga produksi untuk tetap konsisten dan produktif serta inovatif.
d) Teknik produksi: tradisional dilakukan dengan teknik modern digabung dengan peralatan tradisional.

c. Pelaksanaan Produksi
1. Alokasi kegiatan: strategi produksi merupakan langkah awal yang perlu dituangkan sejak awal memulai produksi.
2. Tahapan produksi meliputi:
a) Desain produksi : mengetahui selera konsumen sebelum mulai produksi meliputi model: Prasmanan, Box, Bungkus, dan Rantang.
b) Proses produksi : sejak proses pemesanan bahan baku – barang jadi.
3. Pelaksanaan Produksi meliputi:
a) Ditangani langsung kepala bagian produksi dan staff
b) Dihidangkan dengan berbagai seni dan teknik sesuai permintaan
4. Pengendalian Produksi meliputi:
a) Terhindar dari pemborosan
b) Dilakukan mulai dari desain produksi – barang jadi, sehingga memuaskan konsumen.
c) Dilakukan sampai dengan akhir – menghidangkan dengan berbagai pola penyajian untuk menarik dan menambah selera konsumen.

d. Persyaratan Kesehatan Makanan
1. Bahan makanan
Bahan yang akan diolah terutama daging, susu, telur, ikan/udang dan sayuran harus baik, segar dan tidak rusak atau berubah bentuk, warna dan rasa sebaiknya berasal dari tempat resmi yang diawasi.
Bahan terolah yang dikemas, bahan tambahan dan bahan penolong memenuhi persyaratan peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku.
2. Makanan terolah
a) Makan yang dikemas
1. Mempunyai label dan merk
2. Terdaftar dan mempunyai nomor daftar
3. Kemasan tidak rusak/pecah atau kembung
4. Belum kadaluwarsa
5. Kemasan digunakan hanya untuk satu kali penggunaan
b) Makanan yang tidak dikemas
1. Bahan baru dan segar
2. Tidak basi, busuk, rusak atau berjamur
3. Tidak mengandung bahan-bahan yang dilarang


3. Makanan Jadi
a) Makanan tidak busuk, rusak atau basi yang ditandai dari rasa, bau berlendir, berubah warna, berjamur, berubah aroma atau adanya pengotoran lain
b) Memenuhi persyaratan bakteriologi berdasarkan ketentuan yang berlaku
c) Angka kuman "e coli" pada makanan harus 0/gr contoh makanan
d) Angka kuman "e coli" pada minuman harus 0/gr contoh minuman
e) Jumlah kandungan logam berat dan residu pestisida tidak boleh melebihi ambang batas yang diperkenankan menurut ketentuan yang berlaku

e. Persyaratan Kesehatan Pengolahan Makanan
1. Tenaga/karyawan pengolah makanan
a) Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter
b) Tidak mengidap penyakit menular seperti Tipus, kolera, TBC atau pembawa kuman (carrier)
c) Setiap karyawan harus memiliki buku pemeriksaan kesehatan yang baku
2. Peralatan yang kontak dengan makanan
a) Permukaan utuh (tidak cacat) mudah dibersihkan
b) Lapisan permukaan tidak terlarut dalam asam/basa atau garam yang lazim dijumpai dalam makanan, yang termasuk zat kimia lainnya seperti: timah hitam (Pb), arsenikum (As), tembaga (Cu), seng (Zn), cadmium (Cd), antimon (stibrim).
c) Wadah yang digunakan harus mempunyai penutup yang menutup dengan sempurna.
d) Kebersihannya ditentukan dengan angka kuman "e-coli" sebanyak-banyaknya 100/cm2 permukaan.
3. Cara Pengolahan
a) Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dengan tubuh.
b) Perlindungan kontak langsung dengan makanan dilakukan dengan alat pembantu seperti: Sarung tangan plastik (sekali pakai), Penjepit makanan, Sendok – garpu.
c) Untuk melindungi pencemaran makanan digunakan alalt pembantu seperti: celemek/apron, tutup rambut dan mulut, sepatu dapur.
d) Perilaku tenaga / karyawan selama bekerja perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak merokok
2. Tidak makan atau mengunyah
3. Tidak memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berhias
4. Tidak menggunakan peralatan dan fasilitas yang bukan untuk keperluannya.
5. Selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar mandi/kecil.
6. Selalu memakai pakaian kerja dan pakaian pelindung dengan benar.
7. Selalu memakai pakaian kerja yang bersih yang tidak dipakai diluar tempat kerja jasa boga.


f. Persyaratan Kesehatan Penyimpanan Makanan
1. Penyimpanan bahan mentah.
2. Penyimpanan makanan terolah, maksudnya adalah menyimpan masakan kemasan tertutup sebaiknya dalam suhu  10 0C.
3. Penyimpanan makanan jadi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan.
Makanan cepat busuk disimpan dalam suhu panas 65,5 0C atau lebih atau disimpan dalam suhu dingin 4 0C atau kurang.
Makanan cepat busuk untuk penggunaan dalam waktu lama (lebih dari 6 jam) disimpan dalam suhu -5 0C sampai -1 0C.
4. Cara penyimpanan makanan yang baik adalah sebagai berikut:
a) Tidak menempel pada lantai, dinding atau langit-langit dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jarak makanan dengan lantai 15 cm
2. Jarak makanan dengan dinding 5 cm
3. Jarak makanan dengan langit-langit 60 cm
b) Tidak tercampur antara makanan yang siap untuk dimakan dengan bahan makanan mentah.

g. Pembelian Bahan Makanan
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembelian bahan makan untuk keperluan katering yaitu:
1. Beberpa jumlah makanan yang diperlukan tiap porsi, hal ini diperlukan untuk menentukan berapa banyak bahan yang harus dibeli.
2. Berapa lama bahan tersebut dapat disimpan.
3. Bagaimana dengan fasilitas ruang penyimpanan bahan makanan.
Untuk itu harus memenuhi pengetahuan bahan makanan, pengetahuan tentang cara membeli dan bagaimana menanganinya setelah membeli dan menentukan jumlah kebutuhan bahan makanan. Oleh karena itu perlu diperhatikan sebagai berikut:
1. Banyaknya kebutuhan bahan makanan/porsi
2. Kualitas bahan makanan, karena buangan bahan makanan yang berkualitas tidak terlalu banyak yang terbuang.
Berikut ini tabel beberapa banyak bahan makanan yang diperlukan untuk setiap porsi. Namun ukuran ini hanya sekedar patokan karena tergantung sekali kepada kondisi dari konsumen dan pengalaman dari kepala dapur.

TABEL JUMLAH KEBUTUHAN BAHAN MAKANAN PER PORSI
Jumlah Bahan Masakan/Hidangan Jumlah Porsi Nama Bahan Makanan/Hidangan Jumlah Porsi
Sup 2-3 porsi/500cc Daging pgung sapi & tulang 4-6 porsi/kg
Hidangan pembuka dingin 120-180gr/porsi Daging pgung sapi tanpa tulang 6-8 porsi/kg
Ikan salem asap 16-20 porsi/kg(utuh)
20-24 porsi (fillet) Daging rebus
Daging untuk isi pie 6-8 porsi/kg
8-10 porsi/kg
Cocktail udang, kerang 16-20 porsi/kg Rump steak 120-250/gr/porsi
Hati angsa 15-30 gr/porsi Sirloin 120-250/gr/porsi
Caviar 15-30 gr/porsi Lidah 4-6/kg
Ikan Buntut sapi 5-6 porsi/kg
Fillet ikan 8 porsi/kg Daging kambing bagian paha 6-8 porsi/kg
Ikan dgn tulang 4 porsi/kg Daging lulur 6-8 porsi/kg
Ikan kecil 1 buah/porsi Cutlet 90-120 gr/porsi
Ikan salem 4-6 porsi/kg Ham disajikan panas 8-10 porsi/kg
Udang besar 250-360 gr/porsi Ham disajikan dingin 10-12 porsi/kg
Saus Sosis 12-20 porsi/kg
Tomat 8-12 porsi/500cc Bebek dan ayam 360 gr/porsi
SAYURAN DAN KENTANG
Kentang (makanan pokok) 8 porsi/kg Tomat 6-8 porsi/kg
Kol 4-6 porsi/kg Buncis 6-8 porsi/kg
Lobak 6-8 porsi/kg Kembang kol 6-8 porsi/kg
Wortel 6-8 porsi/kg Bayam 4-6 porsi/kg
Brussel sprout 6-8 porsi/kg Kacang polong 4-6 porsi/kg

E. RENCANA KEBUTUHAN SUMBER DAYA INSANI (SDI)
a. Kualifikasi Sumber Daya Insani
1. Kualifikasi Sumber daya insani adalah yang memiliki keterampilan yang memadai sesuai dengan kebutuhan perusahaan, seperti kemampuan mengelola keuangan, mengolah masakan, kemampuan membuat kue dengan berbagai ragam yang kreatif dan inovatif.
2. Mempunyai kepribadian yang SAFTI (Shiddiq, Amanah, Fathonah, Tabligh, dan Ikhlas/Istiqomah), sehingga dalam menjalankan aktifitasnya senantiasa dilandasi dengan nilai Ibadah.
3. Pemberdayaan sektor riil (empowerment of micro industry) dengan menggerakkan kelompok-kelompok usaha kecil dan menengah.

b. Rencana Pengembangan dan Pelatihan
Dalam melaksanakan proses pendirian usaha riil ini, kami mempunyai beberapa tahapan-tahapan kerja, yaitu:
a. Tahapan Pengkajian dan Sosialisasi
Pada tahapan ini kami memerlukan beberapa item kegiatan diantaranya:
1. Focus Discussion Group (FGD), melalui Bahtsul Masail, diskusi, Kajian Intensif Tematik, seputar jenis-jenis makan yang di-halalkan oleh Syari'at Islam berikut tatacara/mekanisme (kaifiyyah) pengolahan bahan makanan yang diajurkan oleh hukum Islam.
2. Library Research (Riset Pustaka), kegiatan ini mengumpulkan dan menganalisis data menjadi sebuah database. Tahapan ini guna mendapatkan data dan fakta dalam menganalisa kemampuan pasar terhadap produk pengolahan makanan yang sehat dan halal.
3. Field Research (Riset Lapangan), kegiatan ini dilakukan guna memberikan ketrampilan kepada pengurus dalam pengelolaan usaha (bisnis) katering, yaitu mengadakan studi banding dengan kelompok usaha (bisnis) katering yang telah sukses seperti, al-Buruj Catering, Vidi Catering dan lail-lain.
4. Koordinasi dengan ikatan pengusaha rumah makan dan katering setempat dan Instansi Pemerintah yang terkait.

b. Tahapan Pembentukan
1. Identifikasi dan Klarifikasi padaa kelompok sasaran.
2. Sosialisasi kepada kelompok sasaran.
3. Pembentukan Struktur, Tugas Pokok, dan Fungsi Organisasi.
4. Koordinasi dengan Mitra Usaha.
5. Penentuan Lokasi Usaha (bisnis).
6. Mengadakan Pengajian Rutin setiap minggunya dan bulannya.

F. ANALISA KELAYAKAN
a. Analisa Lokasi Strategi
Dalam memberikan gambaran yang jelas lokasi perusahaan kami adalah sangat strategis berada di dalam Kota Yogyakarta yaitu Jl, Celeban Baru Umbulharjo No. III/639A Yogyakarta 5516 Telp/Fax (0274) 385861, e-mail:hakeem's catering@yahoo.com
1) Berdasarkan gambaran diatas, tampak bahwa jumlah rumah makan dan cafe atau sejenisnya yang beroperasi di wilayah Yogyakarta, dan sekitarnya mencapai kurang lebih 453 perusahaan pada Tahun 2006 data BPS Kota Yogyakarta. Untuk memperkirakan jumlah pendapatan dan target usaha, maka diperkirakan pangsa pasar yang akan diraih adalah sebanyak 20 % dari total populasi yang ada.
2) Sebagaimana telah disampaikan, bahwa di wilayah ini telah berdiri dan berkembang, namun besarnya peluang masih terbuka cukup lebar, seperti tampak pada tabel di atas ditunjukkan beberapa pesaing dan kekuatan masing-masing. Sehingga dapat memberikan gambaran tentang kelaikan dan potensi usaha yang akan dikembangkan.

b. Analisa Sasaran Pasar
Berkaitan dengan pemahaman pasar dalam perdagangan yang terjadi saat ini kalau kita analogikan dengan mekanisme pasar yang dijalankan oleh Rasulullah Saw, perlu kiranya kita analisa secara mendalam apa yang dimaksud dengan konsep pasar (the market of concept) yang sebenarnya. Bahwa objek dari ilmu ekonomi adalah perilaku ekonomi konsumen, produsen dan pemerintah. Kesemua objek tersebut akan dipertemukan dalam mekanisme pasar, baik pasar tenaga kerja, pasar barang atau pasar modal. Dengan kata lain, mekanisme pasar adalah terajadinya interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan tingkat harga tertentu. Adanya transaksi tersebut akan mengakibatkan terjadinya proses transfer barang dan jasa yang dimiliki oleh setiap objek ekonomi tersebut. Dengan kata lain, adanya transaksi pertukaran yang kemudian disebut sebagai perdagangan adalah salah satu syarat utama dari berjalannya mekanisme pasar. )
Seperti yang dikutip oleh Adiwarman ) bahwa menurut Imam al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari "keteraturan alami", hal ini terinci dalam evolusi terciptanya pasar dalam pemikiran beliau adalah sebagai berikut:
"Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi oleh pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang."

Pada penjelasan yang lain al-Ghazali menjelaskan secara eksplisit seputar perdagangan regional, adapun pendapat beliau tersebut adalah sebagai berikut:
"Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota dimana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. "Terciptalah kelas perdagangan regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga". )

Gambar pernyataan al-Ghazali ini adalah sebagai berikut:














Dari gambar diatas menurut Abu Yusuf bahwa mekanisme pasar yaitu dengan memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Dengan kata lain pemahaman pada masa Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand. ) Hubungan harga dan kuantitas dapat diformulasikan sebagai berikut:


Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah negatif, apabila P naik maka Q turun, begitu pula sebaliknya, apabila P turun maka Q naik. Dengan kata lain dari formulasi ini bahwa hukum permintaan mengatakan bahwa bila harga komoditi naik, maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang dibeli, begitu juga apabila harga komoditi turun, maka akan direspon oleh konsumen dengan meningkatkan jumlah komoditi yang dibeli. )
Oleh karena dalam konteks permasalahan ini adalah nilai-nilai pengamalan hadis Nabi Saw yang berkaitan etika berdagang menerapkan mekanisme pasar perdagangan pada waktu itu adalah Rasulullah Saw sebagai utusan Allah Swt yang memiliki keluhuran budi pekerti dan entitas moral kepribadian beliau terhadap aktivitas berdagang (bisnis) dengan memperhatikan mekanisme transaksi dan pasar yang terjadi pada masa beliau. Sehingga apabila pada saat ini masih terjadi mekanisme pasar seperti monopoli pasar dan harga, hal itu akan berdampak pada persaingan yang tidak sehat (unstabilitas) dan mengandung unsur gharar dan maisir, yang jelas hal itu bertentangan dengan etika perdagangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat

c. Analisa Proyeksi Keuangan
Untuk proyeksi keuangan kami akan di-lampir-kan dalam proposal ini yaitu menganalisa kemampuan Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia/Insan (SDM/I), dan Sumber Daya Informasi (SDI) yang dapat menunjang keberlangsungan usaha (bisnis) katering ini adalah sebuah upaya mempersiapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan operasional dalam usaha ini

d. Analisa Sistem dan Prosedur
a. Dalam sistem ekonomi dikenal dengan efficient allocation of goods, sebagaimana kita ketahui bahwa Sayyidina Ali R.a mengatakan: "Janganlah kesejahteraan salah seorang diantara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun". Analisa sistem dan prosedur yaitu dengan menganalisa kemampuan Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia/Insan (SDM/I), dan Sumber Daya Informasi (SDI) yang dapat menunjang keberlangsungan usaha (bisnis) katering ini adalah sebuah upaya mempersiapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan operasional dalam usaha ini.
b. Dalam nilai-nilai pengamalan hadis Nabi Saw yang berkaitan etika berdagang menerapkan mekanisme pasar perdagangan adalah Rasulullah Saw sebagai utusan Allah Swt yang memiliki keluhuran budi pekerti dan entitas moral kepribadian beliau terhadap aktivitas berdagang (bisnis) dengan memperhatikan mekanisme transaksi dan pasar yang senantiasa menghindari persaingan yang tidak sehat (unstabilitas) dan mengandung unsur gharar dan maisir.
c. Sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina Ali R.a:
الحـق بـلا نـظام سيغـلب الباطـل بالنـظام

Bahwa segala seuatu kebaikan apabila tidak diorganisir dengan baik akan tereliminasi oleh sesuatu yang batil yang terorganisir

G. KESIMPULAN
Demikianlah, catatan sementara untuk awal langkah kami dalam pendirian Usaha (bisnis) katering Kami harapkan sekali kepada seluruh pihak dalam memberikan masukan dan ususlan guna perbaiakn catatan kecil ini. Tak ada gading yang tak retak, kami manusia tempatnya salah dan lupa, harapan dan do'a kami semoga para pengasuh dalam merestui pendirian Usaha (bisnis) katering ini, dan mudah-mudahan ini menjadi amal sholeh kita yang senantiasa diterima disisi Allah Swt, amin.


Baca Selanjutnya......
Posted under by , | NO COMMENTS

TAFSI>R DAN METODOLOGI TAFSI>R AL-QUR'A>N#) (Studi Analisis -Kritis Dalam Lintas Sejarah)

Written by Economic and Business Sharia Law on

A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an sebagai kitab suci yang berisi teks-teks suci, yang merupakan sumber hukum Islam. Dengan kandungan yang universal, telah banyak orang membicarakannya dan menulis, tetapi tetap saja belum dipahami dengan baik. ) Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, persoalan muncul dalam kehidupan sosial yang penuh tantangan dan dinamika persoalan hukum terus berlangsung dan berubah seiring perkembangan dalam permasalahan-permasalahan hukum, menurut Richard C. Martin, al-Qur'an sebagai great book dalam perspektif budaya yang dapat didekati dengan pendekatan antropogis. )


Kitabullah al-Qur'an dianggap sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur'an, bahkan para sahabat Nabi Saw sekalipun yang secara umum menyaksikan turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara ilmiah struktur bahasa dan makna kosa katanya. )
Dalam sejarah Rasulullah Saw mengemban tugas untuk menjelaskan maksud dari firman Allah Swt. Maka seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan seputar kajian al-Qur'an, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman, berbagai penafsiran al-Qur'an terus berkembang, dengan berbagai corak dan para ulama dan intelektual muslim telah melahirkan konsep pemahaman al-Qur'an dengan penafsiran dan metodologi tafsir al-Qur'an. )
Sepeninggal Rasulullah Saw, para sahabat mendalami kitabullah dan mengetahui rahasia yang tersirat dan yang menerima tuntunan serta petunjuk beliau, merasa terpanggil untuk tampil ambil bagian dalam menerangkan dan menjelaskan mengenai apa saja yang mereka ketahui dan mereka pahami mengenai al-Qur'an. )


B. TAFSIR DAN METODOLOGI TAFSIR AL-QUR'AN
1. Pengertian Tafsi>>r dan Ta'wi>>l
Istilah tafsi>r lebih populer ketimbang ta'wi>l, jadi tafsi>r artinya membuka atau menyingkap (al-Kasya>f) dan menjelaskan (al-Idzha>r), artinya menjelaskan makna ayat dengan sebuah kata atau lafal yang menunjukkan makna terangnya ), atau merupakan upaya membuka, memahami, dan menjelaskan maksud di pengarang dalam hal ini Allah Swt, tanpa keluar dari struktur makna dalam teks sumber yaitu al-Qur'an ).
Pengertian Tafsi>r menurut ulama tafsir (bahasa) adalah
التفسـير فى اللـغة : التفسـير هو الإيـضاح والتبـيـين
dari definisi tersebut merujuk kepada al-Qur'an, sebagaimana tercantum di dalam firman Allah Swt, yang berbunyi:
       •  (

Dalam Lisa>n al-Arab adalah :
الفسـر : ألإبانة وكشف المغطى كالتفسير, والفعل : كضرب و نصر (
Yang maksudnya adalah membukakan sesuatu yang tertutup, maksudnya ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. )
Menurut Imam Badruddin pengertian tafsi>r ) adalah
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه وإستخراج أحكامه وحكمه

Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata tafsi>r diartikan dengan: "keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur'an" ). Jadi tafsir al-Qur'an ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al-Qur'an, atau dengan kata lain menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. )
Dalam literatur lain dikatakan bahwa kataالتفسير berasal dari kata الفسر yang berarti membuka, menampakkan sesuatu yang tertutup, selain itu juga istilah التفسير ialah menjelaskan kandungan-kandungan al-Qur'an al-Karim. )
Sedangkan makna ta'wi>l menurut adz-Dzahabi> >) adalah :
التـأويل فى اللـغة مـأخـوذ مـن الأوّل وهـو الرجـوع
Dalam Lisan al-'Arab yang pengertian ta'wil adalah:
التأويل:الرجوع الشيئ يؤول_أولا_ومالا رجع, وأول الشيئ: رجعه, وألت عن الشيئ ارددت (

Dengan demikian makna ta'wil menurut bahasa berasal dari kata الأوّل yang artinya kembali. Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan sebuah ayat dalam arti yang lain/arti yang mirip ). Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ta'wil adalah mura>dif (sinonim) dengan kata tafsi>r, sedangkan menurut al-Alusy, bahwa ta'wil adalah mempunyai arti yang mendalam berupa pengetahuan Ilahi yang bersumber dari alam yang ghaib untuk kalbu para ilmuwan. )
Menurut al-Lusy, bahwa ta'wil adalah mempunyai arti yang mendalam berupa pengetahuan Ilahi yang bersumber dari alam yang ghaib untuk kalbu para ilmuwan. )
Dengan demikian antara makna ta'wil dengan tafsi>r adalah kalau tafsir itu pengertian lahiriah dari ayat al-Qur'an yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah Swt, sedangkan ta'wil adalah pengertian-pengertian yang tersirat yang di istinbathkan (diproses) dari ayat-ayat al-Qur'an yang memerlukan perenungan dan merupakan proses terbukanya tabir. Sebagaimana ditegaskan Allah Swt dalam firman-Nya yang berbunyi:
          •             )

Selain itu pula istilah tafsir mempunyai sinonim dengan syarh, namun istilah ini tidak digunakan dalam perbendaharaan tafsi>r, sekalipun memiliki makna senada. Sedangkan istilah ta'wi>l masih tetap eksis dalam perbendaharaan kajian-kajian al-Qur'an. )
Menurut al-Syatibi dalam penggunaan ta'wi>l ada 2 (dua) syarat pokok dalam pen-ta'wi>l-an ayat-ayat al-Qur'an ) yaitu:
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
2. Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Selanjutnya al-Syatibi maksudnya dari kedua syarat tersebut bahwa popularitas arti dan kosakata tidak disinggung lagi, dengan kata lain bahwa kata-kata yang bersifat ambigu/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan yang lainnya). )
Ta'wi>l sebagaimana dikemukakan diatas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan al-Qur'an di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang. Namun perlu ditekankan bahwa men-ta'wi>l-kan suatu ayat, tidaklah semata-mata pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. )

2. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur'an
Sebagaimana kita ketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan tafsi>r al-Qur'an dimulai sejak zaman Rasulullah Saw, beliau lah yang menguraikan Kitabullah al-Qur'an dan menjelaskan kepada umatnya ), sehubungan dengan itu pada saat al-Qur'an diturunkan, Rasulullah Saw, menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya, dan keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasulullah Saw. )
Rasulullah Saw selain bertugas menyampaikan wahyu dari Allah Swt, beliau juga menjelaskan kepada umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt yang berbunyi:
       ••       )

Dalam firman ini Allah Swt menjelaskan bahwa al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw merupakan wahyu yang diperuntukan umat manusia sebagai pedoman hidup dalam menjalankan kehidupannya sebagai pemegang amanah (khalifatu al-Ardl). Dan sebagaimana dalam firman yang Allah Swt menjelaskan, yang berbunyi:
                )

Dalam ayat diatas Allah Swt, menjelaskan tentang urgensitas penurunan al-Qur'an sebagai petunjuk dan rahmat bagi umat manusia melalui penafsiran dari para sahabat Nabi Saw yang diterima oleh para ulama dari kaum Ta>bi'i>n diberbagai daerah Islam, sampai akhirnya muncul ahli-ahli tafsi>r di Mekkah, Madinah, dan Iraq. Tradisi penafsiran al-Qur'an dilanjutkan kemudian oleh generasi ketiga kaum muslimin (kaum ta>bi'it ta>bi'i>n), pada generasi inilah juga yang mulai mengumpulkan pendapat para ulama terdahulu, kemudian dituangkan dalam kitab-kitab tafsi>r, seperti yang dilakukan oleh Sufyan bin Uyainah, Waki' bin Jarrah, Syu'bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun, Abd bin Hamid. Dari penulis tafsi>r tersebut yang merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jarir al-Thabari, penulis tafsi>r al-Qur'an, Ja>mi al-Baya>n 'an Ta'wi>l A>ya>t al-Qur'a>n, sebuah tafsi>r al-Qur'an paling awal yang bisa diakses dewasa ini. )
Secara singkat metodologi tafsi>r dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang metode menafsirkan al-Qur'an, definisi ini dibedakan dari metode tafsi>r yang berarti cara-cara menafsirkan al-Qur'an, dan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah metodologi tafsi>r al-Qur'an. )
Sejarah penafsiran al-Qur'an dan perkembangan tafsi>r dibagi menjadi 2 (dua) macam kategori penafsiran Nabi Saw, terdiri dari 2 (dua) yaitu sudah terinci artinya apa yang telah digariskan oleh Nabi Saw berkenaan ibadah tidak perlu ditafsirkan lagi tapi cukup dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tersebut, tidak boleh diubah sedikitpun. )
Hal ini, biasanya menyangkut masalah iba>dah, seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Kategori kedua yang disampaikan Nabi Saw adalah secara garis besarnya saja, ini biasanya berhubungan dengan masalah-masalah mu'a>malah (kemasyarakatan) seperti hukum, urusan kenegaraan, kekeluargaan, dan sebagainya. )
Ada perbedaan dikalangan ulama dalam mengklasifikasikan metode tafsi>r sesuai dengan perkembangan ilmu tafsi>r itu sendiri. Sebagian ulama ahli tafsi>r seperti M. Ali al-Shabuni, Manna' al-Qattan, Subhi Shalih, dan Fahd bin Abd. Al-Rahman al-Rumi memetakan metode tafsi>r kedalam 3 (tiga) ) bentuk yaitu sebagai berikut:


a) Tafsi>r bi al-Ma'tsur
Tafsi>r ini dikenal juga dengan Tafsi>r bi al-Riwa>yah, yaitu tafsi>r al-Qur'an yang berpijak pada riwayah, atau lebih jelasnya tafsi>r yang bersumber pada al-Qur'an sendiri, atau yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw, sahabat, maupun dari ta>bi'i>n ). Pada literatur lain dijelaskan bahwa para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsi>r Nabi Saw secara musya>faha>t (dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai pada datang masa tadwi>n (pembukuan) ilmu-ilmu Islam, termasuk tafsi>r, terjadi sekitar abad ke-3 H. cara penafsiran ini merupakan cikal bakal apa yang disebut tafsi>r bi al-Ma'tsu>ri atau disebut juga tafsi>r bi al-Riwa>yah. Para sahabat yang menonjol dalam menguasai tafsi>r bi al-Ma'tsur yaitu diantaranya Ibnu Mas'u>d, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'a>b, Zaid bin Tsa>bit, Abu Musa> al-Asy'a>ri, Abdullah bin Zubari>. )
Para ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai batasan tafsi>r bi al-Ma'tsur, menurut al-Zarqa>ni>, yang termasuk tafsi>r bi al-Ma'tsur adalah tafsi>r yang diberikan oleh ayat-ayat al-Qur'an, Sunnah, dan Sahabat. Sedangkan menurut al-Dzahabi, tafsi>r bi al-Ma'tsur adalah memasukkan tafsi>r dari tabi'in. Seperti al-Thabari tidak hanya tafsir dari Nabi Saw dan Sahabat, melainkan juga memuat tafsi>r dari ta>bi'i>n. )
Alasan al-Zarqa>ni> tidak memasukkan penafsiranta>bi'i>n ke dalam tafsi>r bi al-Ma'tsur dilatar belakangi oleh kenyataan: banyak diantara ta>bi'i>n yang terlalu terpengaruh oleh riwayat-riwayat isra>iliyya>t ) yang berasal dari kaum Yahudi dan ahli Kitab lainnya, seperti dalam kisah para Nabi, penciptaan alam, ashhabu al-kahfi, kota Iran, dan lain sebagainya. )
Tafsir jenis ini contohnya adalah "Jami al-Bayan 'an Ta'wil Ayat al-Qur'an, karya Jarir al-Thabari, "al-Duri al-Mansur fi Tafsir bi al-Ma'tsur, karya al-Suyuti, dan tafsir karya Ibnu Katsir. )

b) Tafsi>r bi al-Ra'yi
Tafsi>r bi al-Ra'yi atau dikenal dengan Tafsi>r bi al-Dirayah, yaitu tafsir melalui pemikiran atau ijtihad ), dengan kata lain penafsiran al-Qur'an yang berpijak pada penggunaan pendapat, nalar atau akal ). Tafsir ini berkembang pada akhir abad ke-3 H atau akhir masa ulama salaf, pada awal ulama mutakhhirin. Seperti kaum \fuqaha (ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fikih, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Jashash dan al-Qurthubi, al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari, dan kaum sufi, yang menafsirkan dengan pemahaman dan pengalaman batin mereka, seperti Tafsir al-Qur'an al-Azhim oleh al-Tustari, Futuhat Makkiyat oleh Ibnu 'Arabi, juga dalam bidang bahasa dan qira'at, seperti Tafsir Abi al-Su'ud, al-Bahr al-Muhith oleh Abu Hayyan. )
Mengenai Tafsir bi al-Ra'yi yang didasarkan pada pendapat dan akal ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya. Namun demikian sebenarnya perbedaan itu karena penafsir berdasarkan pendapat (ra'yu) memastikan "yang dimaksud Allah Swt begini dan begitu", tanpa disertai dalil dan hujjah atau karena orang berusaha menafsirkan al-Qur'an padahal ia tidak menguasai kaidah bahasa Arab dan pokok-pokok hukum agama, atau karena dorongan hawa nafsu yang hendak memutarbalikkan makna ayat-ayat al-Qur'an. Lain halnya kalau penafsir mempunyai persyaratan cukup yang diperlukan, sehingga tidak ada salahnya kalau berusaha menafsirkan al-Qur'an atas dasar pendapat dan akal. )
Adapun contoh dari jenis tafsir ini adalah tafsir al-Razi yang berjudul "Mafatih al-Ghaib", tafsir Imam Baidlawi, yang berjudul "Anwaru al-Tanzil wa Asraru al-Ta'wil ", tafsir Abu Su'ud, yang berjudul "Irsyadu al-Iqli al-Salim Ila Ma Mazaya al-Qur'an". )
Sehingga pada abad modern lahir tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra Arab, seperti Tafsir al-Manar, dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi, dengan judul Tafsir al-Jawahir. )

c) Tafsi>r bi al-Isya>ri>
Tafsi>r bi al-Isya>ri> atau yang sering disebut dengan tafsir sufi atau tafsir mistik. Metode ini dikarakteristikan sebagai ta'wil dalam pengertian sebagai penjelasan internal atas kandungan al-Qur'an, yang dibedakan dari tafsir sebagai penjelasan eksternalnya. Metode ini dipandang memberikan kebebasan untuk masuk ke dalam tataran makna batin yang sangat luas dan dalam teks, yang memang dituju oleh para sufi. )
Dalam tafsir bi al-Isyari mufassir mena'wilakan ayat-ayat al-Qur'an tidak menurut makna yang semestinya, tetapi kolaborasi makna lahir dan makna batin. Adapun contoh tafsir jenis ini adalah karya Ibnu Arabi, dengan judul "Tafsir al-Qur'an al-Karim", karya al-Alusi (wafat 1270 H) yang berjudul "Ruhul Ma'ani". )



3. Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur'an
Dari pembahasan di atas bahwa ketiga kategori tafsir tersebut lebih sering disebut corak tafsir. Sedangkan klasifikasi metode tafsir yang saat ini sering dijadikan acuan adalah klasifikasi metode tafsir oleh al-Farmawi, seorang guru besar Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, meskipun beliau tidak memberikan pemetaan yang tegas antara wilayah metodologi dan pendekatannya serta teknik penafsiran tafsir. )
Beliau membuat klasifikasi metode tafsir menjadi 4 (empat) macam, yaitu metode tafsir ijmaly, tahlily, muqarin, dan maudlu'i , adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a) Metode Tafsir Ijmali (Global)
Metode ini yaitu menjelaskan seputar ayat-ayat al-Qur'an secara riangkas, tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Di samping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur'an, sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur'an, padahal yang didengarnya itu adalah tafsirannya. )
Selanjutnya kelebihan dari metode ini adalah praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyyat, serta akrab dengan bahasa al-Qura'an. Sedangkan kelemahan metode ini adalah menjadikan petunjuk al-Qur'an bersifat parsial dan tidak ada ruang yang memadai untuk mengemukakan analisis. )
Adapun yang termasuk dalam kelompok metode ini adalah kitab "Tafsir al-Qur'an al-Karim” , karangan Farid Wajdi, "Tafsir al-Wasith", "Tafsir al-Jalalain", karya Imam al-Suyuthi, serta "Taj al-Tafsir", karangan Muhammad Utsman al-Mirghani, dan termasuk juga dalam klasifikasi metode ini juga kitab al-Tafsir al-Wajiz, karangan Wahbah Zuhaili. )

b) Metode Tafsir Tahlili (Analitis)
Metode ini merupakan salah satu metode yang populer diantara metode lain. Metode Tahlili adalah metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana tercantum dalam mushaf. )
Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur'an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uaraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudah (munasaba>t) dan tidak ketinggalan pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi Saw, sahabat, para tabi'in, maupun ahli hadis lainnya. )
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma'tsur (riwayat) atau ra'yu (pemikiran). Diantara kitab-kitab yang termasuk kategori dalam menggunakan metode ini dalam bentuk ma'tsur (riwayat) adalah "Jami al-Bayan Ta'wil Ayat al-Qur'an", karangan Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 310 H), "Ma'alim al-Tanzil", karangan al-Baghawi (wafat 516 H), "Tafsir al-Qur'an al-Adzhim", yang dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir , yang dikarang oleh Ibnu Katsir (wafat 774 H), dan "al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma'tsur", karangan al-suyuthi (wafat 911 H). )
Sedangkan dalam bentuk ra'yu (pemikiran) adalah "Tafsir al-Khazin", karangan al-Khazin (wafat 74 H), "Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil", karangan al-Baidlawi (wafat 691 H), "al-Rais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur'an", karangan al-Syirazi (wafat 606 H), "al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib", karangan al-Fakhr-Razi (wafat 606 H), "al-Jawahir fi al-Tafsir al-Qur'an", karangan Thanthawi Jauhari, "Tafsir al-Manar", karangan Muhammad Rasyid Ridha (wafat 1935 H). )
Kelebihan dari metode ini adalah ruang lingkupnya yang luas dan memuat berbagai ide. Sedangkan kelemahannya adalah menjadikan petunjukkan al-Qur'an menjadi parsial, melahirkan penafsiran subjektif dan memungkinkannya dimasuki pemikiran israiliyyat. )
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, salah satu kelemahan metode ini adalah bahasanya dirasa mengikat generasi berikutnya, hal ini karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka. Sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. )

c) Metode Tafsir Maqarin (Komparatif)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai metode ini, dari berbagai literatur dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif adalah sebagai berikut:
1) Membandingkan teks (nashashjamaknya nushush) dalam ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih (beragam), dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama (diduga sama).
2) Membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadis Nabi Saw yang pada lahirnya antara keduanya terlihat bertentangan.
3) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an atau menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufassir. )
Ada beberapa kelebihan pada metode ini yaitu memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca; membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil yang kontradiktif, berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat; mendorong mufassir untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain. )
Sedangkan kelemahan metode ini adalah tidak dapat diberikan kepada para pemula; kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh ditengah masyarakat; serta terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru ).

d) Metode Tafsi>r Maudlu>'i (Tematik)
Metode tafsir maudlu'i adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan, dikaitkan, dan dihimpun. Selanjutnya dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-Nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur'an, hadis, maupun pikiran rasional. )
Menurut M. Quraish Shihab, metode ini memiliki 2 (dua) pengertian; yaitu pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur'an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan yang lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat dalam al-Qur'an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur'an secara utuh tentang masalah yang dibahas. )

4. Analisa-Kritis Dalam Lintas Sejarah
Dari uraian diatas dapat kita analisa dalam perpspektif sejarah bahwa pembahasan mengenai klasifikasi metode tafsir al-Qur'an sejauh ini terdapat dua perbedaan. Ulama mutaqqddimi>n, mengklasifikasikan metode tafsi>r bi al-Riwa>yah, tafsir bi al-Isya>ri>. Sedangakan belakangan metode tafsir diklasifikasikan menjadi metode ijmali>, tahlili>, maqa>rin, dan maudhu'i.
Istilah lain yang hampir sepadan dengan tafsi>r adalah ta'wi>l sebagaimana dikemukakan diatas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan al-Qur'an di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang. Namun perlu ditekankan bahwa men-ta'wi>l-kan suatu ayat, tidaklah semata-mata pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan.
Sehingga pada era kontemporer saat ini berkembang sebuah istilah Hermeneutik yang berarti upaya untuk mencoba menghubungkan horizon manusia lain atau melakukan tindakan penetrasi historis terhadap sebuah teks. ) Oleh karena itu hermeneutik membutuhkan "ijtihad" untuk dapat melakukan empati sehingga dapat melakukan tindakan pemahaman yang komplek diatas. Selain itu juga hermeneutik harus berjuang memformulasikan teori pemahaman bahasa dan sejarah yang lebih kreatif sebagaimana teori-teori fenomenologi umum dari sebuah 'pemahaman' yang berfungsi dalam kegiatan interpretasi teks. )
Sebagaimana kita ketahui bahwa akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja herme>neuein, yang berarti "menafsirkan", dan kata benda herme>neia, "interpretasi". )
Hermeneutik adalah istilah dalam wacana keilmuan Islam tidak ditemukan, tapi menyerupai istilah Hirmis, Harmas, atau Harmis, namun menurut M. Pleggner bahwa dalam Islam dikenal dengan المثلث بالحكمة yang berasal dari tiga individu yaitu:
1. Hermes yang didentikkan dengan Akhnukh (Enoc) dan Idris, yang hidup di mesir sebelum ada pembangunan Piramid.
2. Diidentikkan pada al-Babili dari Babilonia yang hidup setelah Piramid dibangun.
3. Berasal dari tulisan tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan yang disusun setelah Piramid dibangun. )
Pada akhirnya dalam memahami ajaran suatu agama atau menafsirkan al-Qur'an, sebagaimana memahami dan menafsirkan tidaklah sepenuhnya benar. Sebabnya, apapun jenis penafsiran, jenis metode yang dipakai, sedikit atau banyak, kemungkinan besar dipengaruhi oleh sekian banyak faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda antara satu generasi yang lain, memaksakan suatu pemahaman kepada orang lain adalah sebuah tindakan arogansi pemikiran.
Sebab itu diperlukan upaya kreatif untuk melahirkan metodologi yang benar-benar mampu memberikan jawaban atas problematika yang dihadapi umat, sekaligus memberikan pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas para musfassir.

C. PENUTUP
Demikianlah pemaparan dari tafsir dan metodologinya, walaupun masih banyak catatan yang perlu kita kembangkan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu cepat perkembangannya sejalan dengan fenomena dan problematika sosial keagamaan terhadap tafsir tek-teks kitab suci al-Qur'an.
Pada akhirnya kami menyadari dalam pembahasan kali ini masih banyak kekurangan dan keterabatasan kami dalam menjelaskan "urgensitas tafsir dan metodologinya", namun setidaknya menjadi pecutan bagi kami untuk senantiasa meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan kualitas kehidupan kita dimasa yang akan datang.








DAFTAR PUSTAKA


Ali> bin Muhammad al-Syari>f al-Jurja>ni, Kita>b al-Ta'ri>fa>t, Beirut: Maktabah Libna>n, 1990

Al-Harb, al-Mamnu' wal Mumtani'; Naqd adz-Dzat al-Mufakkirah, Beirut: al-Markaz al-Saqafah al-'Araby>, tt

Al-Zarqani> , Manah al-'Irfa>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, Kairo: Majelis al-Azha>r al-A'ala>, tt

Imam Badruddin, Muhammad bin Abdullah al-Zarkasy>, al-Burha>n fi 'Ulu>mi al-Qur'a>n, Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahi>m, Mesir: Is al-Ba>b al-Halabi, tt

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutik Hingga Ideologi, Jakarta: teraju, 2003

M. Arkoun, Berbagi Pembacaan al-Qur'an, Machasin (pentj), Jakarta: INIS, 1997

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Jakarta: Mizan, 1982

Muhammad Husein al-Dzahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiri>n, cet. ke-1, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961

Muhammad bin Shaleh al-Usaimin, Ushu>lu al-Tafsi>r, diterjemahkan oleh Said Agil Husein Munawwar, dkk, Dasar-dasar penafsiran al-Qur'an, Semarang: Dina Utama, 1989

Muhammad Chudla>ri & Muh. Matsna, Pengantar Studi al-Qur'a>n, terjemah dari kitab al-Tibya>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, Muhammad Aly ash-Sha>buny, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1984

Mamat S. Burhan, Hermeneutik Al-Qur'an Ala Pesantren Yogyakarta: UII Press, 2006

Manna' al-Qaththa>n, Maba>his fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, cet. Ke-V, Kairo: Dairat al-Ma'a>rif al-Isla>miyyah, 1973

Musnur Hery & Damanhuri Muhammad (pentj), Hermenetika Teori Baru Mengenai Interpretasi, dalm buku aslinya "Interpretation Theory in Schleimacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer", Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Richard C. Martin (ed.), Approach To Islam in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona, 1985

Subhi Shaleh, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur'a>n, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004

Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur'a>n, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005


Baca Selanjutnya......
Posted under by | NO COMMENTS

KAJIAN MATAN HADI>S} TENTANG HUKUM EKONOMI/BISNIS ISLAM (Analisa Kritik - Praksis Terhadap Hadi>s} Imam Muslim No. 2796, Seputar Etika Berdagang/Te

Written by Economic and Business Sharia Law on

A. PENDAHULUAN
Dalam kajian Hadis (Sunnah) ) ini, Penulis tidak membedakan pemakaian istilah Hadis dan Sunnah, walaupun dalam studi hadis telah terjadi sinonim dan perbedaan pengertian antara kedua istilah di atas. Menurut Abdul Karim Hasan mendefinisikan Hadis sebagai sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW sebagai hal-hal yang bersifat teoritis, sedangkan sunnah merupakan tradisi yang telah dikerjakan oleh Nabi atau hal-hal yang sifatnya praktis. Menurut al-Kama>l Ibnu Huma>m, Hadis adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi dan terbatas pada perkataan beliau sedangkan Sunnah jangkauannya lebih luas meliputi perbuatan dan perkataan Nabi. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah memahami Hadis sebagai sesuatu hal yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan maupun pengakuannya dan lebih menitikberatkan sunnah sebagai tradisi (adat) yang telah dilakukan berulangkali oleh masyarakat, baik dipandang sebagai ibadah ataupun tidak. Dalam literatur lain disebutkan yaitu Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa Hadis hanyalah refleksi dan dokumentasi dari “Sunnah Yang Hidup (Living Hadis)” karena itulah kemudian muncul otoritas sunnah dan otentisitas Hadis . Namun bila ditinjau dari segi subyek yang menjadi sumbernya, pengertian sunnah dan Hadis menjadi sama, yaitu sama-sama berasal dari Nabi SAW. Hal inilah yang kemudian menjadi pijakan dasar mayoritas ulama untuk mengatakan bahwa “Hadis Identik Dengan Sunnah”. bagi umat Islam menempati urutan kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam. )


Penetapan Hadis sebagai sumber hukum Islam atau dasar yuridis kedua setelah al-Qur’an didasarkan pada beberapa hal; pertama petunjuk al-Qur’an dalam QS. An-Nisa : 59, Kedua Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah, Imam Malik, dan Hakim yang mengandung pesan Rasul tentang dua hal yang ditinggalkan untuk umatnya, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnahnya. Ketiga, berdasarkan orisinalitas dokumen dan historisitas kodifikasinya. Bila ditinjau dari perspektif historisitas dan orisinalitasnya, matan al-Qur’an bersifat Qat’i al-Wuru>d atau Qat’i al-Tsubu>t, sedangkan Hadis selain mutawatir bersifat z}anni al-wuru>d, Keempat, Hadis riwayat Abu Daud yang berisi petunjuk Nabi tentang urutan-urutan penggunaan dalil pada saat memecahkan masalah, dan kelima, berdasarkan logika bahwa al-Qur’an merupakan wahyu dari Sang Pencipta, sedangkan Hadis berasal dari hamba dan utusannya. )
Dengan demikian secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah SAW juga karena fungsinya sebagai penjelas (baya>n) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang mujmal, muthlaq, ‘amm dan sebagainya. ) Kebutuhan umat Islam terhadap Hadis sebagai sumber ajaran agama tercermin dalam pengambilan sumber atau dalil dalam memutuskan suatu persoalan yang tidak ada rinciannya di dalam al-Quran, maka dari itu para ulama menyepakati bahwa Hadis} adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an yang harus dijadikan dalil dalam pengambilan keputusan hukum Islam (istinba>th hukum).
Pada studi hadis dalam prosesnya dapat secara mutawatir yang jumlahnya relatif sedikit, juga tidak seluruh Hadis telah tertulis pada zaman Nabi SAW. Hadis-hadis yang tertulis baru berupa surat-surat Nabi SAW kepada para penguasa non-muslim dalam rangka dakwah. ) selain itu juga berupa catatan-catatan yang dibuat para sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri. )
Pada masa awal hijriyah, penulisan Hadis secara masal tidak diperbolehkan karena kekhawatiran akan bercampur dengan al-Qur’an. ) Walaupun demikian penyebaran Hadis sebagai suatu pelajaran juga sebagai contoh bagi suatu umat akan tidak mengalami stagnasi. Interval waktu antara Raslullah saw (wafat 11 hijriyah) dengan masa penghimpunan Hadis (tahun 100 hijriyah) yang relatif panjang mengakibatkan ada jalur periwayatan atau jalur sanad pada setiap Hadis. Hal seperti ini sangat memungkinkan terjadinya kesalahan baik ketika penyampaian maupun penerimaan antara guru (periwayat) dengan murid (penerima riwayat), sehubungan dengan kualitas hafalan mereka, terlebih lagi adanya periwayat yang tidak ’adil, karena untk kepentingan kelompok atau golongannya maka ia sengaja membuat Hadis maudu (palsu) seperti yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Sya’bah dari golongan Syi’ah. )
Maka dari itu, sistem sanad ini merupakan salah satu keutamaan dan memperhatikan sanad akan menjamin suatu keutuhan suatu berita (hadis Nabi) tentang ajaran-ajaran dan suri tauladan dari Rasulullah saw. Sekiranya tidak diperhatikan rangkaian sanad suatu Hadis niscaya semua orang akan mengucapkan apa yang mereka kehendaki, oleh karenanya Ulama menggolongkan sistem sanad ke dalam sebagian ajaran Islam. )
Islam sebagai agama rahmatan lil’a>lami>n adalah pemenuhan terhadap semua tuntunan kehidupan memerangi kemiskinan, dan merealisasikan kemakmuran dalam semua aspek kehidupan manusia serta mengentaskan pengangguran. Dalam bidang ekonomi Islam memilik aturan-aturan yang merupakan rambu-rambu dalam melakukan transaksi dengan model yang telah ditentukan dan diperbolehkan, seperti jual-beli, pesan, gadai, transfer, asosiasi, persekutuan tani dan persekutuan dagang. )
Dalam pembahasan hadis tentang hukum ekonomi/bisnis dari sudut pandang aturan Islam ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu ekonomi/bisnis Islam. Menurut Hughes dan Kapoor, ekonomi atau bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, secara umum kegiatan ini ada dalam masyarakat dan ada dalam industri. )
Bisnis sering diekspresikan sebagai suatu urusan atau kegiatan dagang, dari asal kata Bisnis itu sendiri diambil dari bahasa Inggris yaitu Business yang berarti kegiatan usaha, dalam pengertian yang luas, kata bisnis sering didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan pengaan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas (supply equipment) untuk diperjualbelikan, dpertukarkan, dan disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. )
Dalam makalah ini, penulis melakukan pembahasan yang berkaitan dengan topik seputar hukum ekonomi dan bisnis Islam dengan subtopik pembahasan hadis yang berkenaan dengan etika berdagang/tengkulak.

B. PEMBAHASAN
A. Hadis} Tentang Hukum Ekonomi Dan Bisnis Isla>m; Etika Berdagang/Tengkulak
Setelah melalui proses penelusuran hadis terhadap kutub at-Tis’ah ) dengan cara penelusuran melalui CD (compact disk) Mausu>'ah al-Hadi>s} al-Syari>f al-Kutubu al-Tis'ah lafal hadis pembahas mendapatkan 7 (tujuh) hadis yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji yaitu terdapat dalam. Hadis yang diteliti adalah terdapat dalam Ba>b al-Buyu>' dan al-Tija>ra>t, setelah dilakukan penelitian melalui takhrij hadis dengan cara penelusuran lewat topik hadis yang biasa memakai kitab-kitab al-Hadi>s, kata yang dipakai penelusuran Hadis adalah lafadz ” al-Jalba” dan ”al-Su>q” , maka diperoleh informasi kitab yang memuat hadis tersebut adalah Shahih Muslim ), Sunan al-Tirmudzi ), Sunan al-Nasa'i ), Sunan Ibnu Dawud ), Sunan Ibnu Majah ), al-Muwaththa’ Imam Malik ), dan Sunan al-Darimi ).
Dalam kajian linguistik yaitu kajian dengan penggunaan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab. Kajian ini sangat diperlukan kepada bahasa aslinya yaitu bahasa Arab. Adapun kata/lafadz dalam kitab-kitab hadis tersebut dari redaksi hadis (matn al-Hadi>s}) adalah :
1) تَلَقَّوُا berasal dari kata لَقِيَ_لِقَاءً_وَلُقِيًّا_وَلُِقْيَانًا artinya bertemu atau menemui )
2) الْجَلَبَ berasal dari kata جَلَبَyang kemasukkan alif lam ma'rifat yang menunjukka bahwa kata tersebut di khitab kan pada suatu hal yang sudah ada atau yang sudah terjadi dan diketahui. Sehingga kata ”al-Jalaba” artinya mendatangkan, memasukkan barang-barang dari luar negeri (mengimpor) ), dalam kamus al-Maurid, disebutkan ”al-Jalaba”, artinya membawa, mendapatkan, mengambil (to bring, get, fetch) ). Dalam konteks redaksi (siyakul kalam) hadis ini berarti "menghadang" atau "menjegat".
3) إشْتَرَى artinya membeli (to buy, purchase) )
4) السُّوقَ artinya pasar )
5) الْخِيَارِ artinya kehendak, pilihan, alternatif (open, choice, alternative) ), dengan kata lain memilih antara akan meneruskan penjualannya atau mengurungkannya.

Adapun hadis Imam Muslim tentang Hukum Ekonomi dan Bisnis Isla>m; Etika Berdagang/Tengkulak, sebagaimana telah ditelusuri dari CD (compact disk) Mausu>'ah al-Hadi>s} al-Syari>f al-Kutubu al-Tis'ah, yang berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي هِشَامٌ الْقُرْدُوسِيُّ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ

Dalam kajian kritik-praksis terhadap hadis Imam Muslim adalah mengkaji dan mengkaitkan makna hadis yang diperoleh dari proses generalisasi kedalam realitas kehidupan kekinian, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian. Sehingga dalam hadis ini menurut analisa penulis yaitu mengandung beberapa hukum atau aturan yang mengatur masalah prinsip ekonomi/bisnis Islam, sebagai berikut :
1. Dilarang melakukan jual-beli yang tidak jelas (gharar). Gharar merupakan jenis benda yang ditransaksikan tanpa adanya kejelasan ukuran dan sifatnya ketika transaksi berlangsung. Jual beli jenis ini mengandung unsur bahaya dan resiko. Kerelaan sebagai unsur penting dalam jual beli tidak terdapat dalam transaksi ini. Hal ini dikarenakan dipaksakan, maka akan dikategorikan sebagai harta yang diperoleh dengan cara bathil. Sebagaimana dalam firman Allah Swt ), yang berbunyi :
             ••    (
Gharar adalah situasi dimana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila kita merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Gharar/taghrir terjadi karena empat hal, yaitu:
a) Kuantitas  kasus ijon
b) Kualitas  menjual sapi masih dalam perut induknya
c) Harga  pengambilan margin 20% untuk 1 tahun atau 40% untuk 2 tahun
d) Waktu penyerahan  menjual barang hilang seharga Rp. X dan disetujui oleh pembelinya
2. Jual beli harus jujur dan ada hak khiyar. Mengenai hak khiyar yang diajarkan oleh Rasulullah saw, pada prinsipnya ini adalah menghargai para konsumen, yaitu hak menuntut dan hak membatalkan jual beli jika pihak konsumen tidak menghendaki atau keberatan dengan transaksi yang sudah terjadi. ) Seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagian sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak dapat terlihat oleh pembeli. )
3. Dilarang menghadang (al-Jalaba) orang desa di perbatasan kota. Zaman dahulu seringkali terjadi orang desa dihadang atau dihalang-halangi masuk kota, dan para tengkulak berusaha membeli barang orang desa itu, dengan harga yang ditetapkan oleh mereka, dengan intimidasi dan informasi mengatakan bahwa harga di kota sekarang ini sedang turun ). Dari Abu Hurairah r.a, katanya, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: Janganlah dicegat pedagang; barang siapa mencegatnya lalu dibelinya suatu barang daripadanya, apabila pedagang itu tiba dipasar, maka penjual tadi diberi kesempatan antara akan meneruskan penjualannya tadi atau mengurungkannya. ). Demikian juga orang kota tidak boleh menjadi perantara (makelar) bagi orang desa, sebagaimana dalam Sunan Ibnu Majah bahwasanya Nabi Saw telah bersabda: Tidak Boleh orang kota menjualkan barang orang desa. )


B. Analisa Kritik-Praksis Terhadap Kajian Hadis Tentang Hukum Ekonomi Dan Bisnis Isla>m; Etika Berdagang/Tengkulak
Problematika bisnis yang terjadi saat ini adalah baik sebagai aktivitas maupun entitas, telah ada dalam sistem dan strukturnya yang "baku". Bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sementara etika ) telah dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis, dalam kenyataan itu, bisnis dan etika dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak kaitan, jikapun ada hanya dianggap sebagai hubungan negatif, dimana praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas, sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis, dengan demikian hubungan antara bisnis dan etika telah melahirkan hal yang problematis. )
Dalam kehidupan bisnis yang terjadi di masyarakat saat ini telah terjadi kesangsian-kesangsian terhadap ide moral dari suatu ajaran agama, yang telah melahirkan mitos-mitos dalam hubungan bisnis dan etika, seperti mitos bisnis amoral, mitos bisnis immoral, mitos bisnis pengejar maksimalisasi keuntungan dan mitos bisnis sebagai permainan. )
Sebagaimana yang telah terjadi pada dewasa ini praktek bisnis yang terjadi di masyarakat masih banyak terjadi praktek tadlis (Unknown to one party) yaitu melanggar prinsip “an taraddin minkum”, setiap transaksi dalam Islam harus dilandasi pada prinsip kerelaan kedua pihak yang bertransaksi. Mereka harus memiliki informasi yang sama tentang barang/jasa yang diperjual belikan, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Term tadlis terjadi karena empat hal:
a. Kuantitas  pengurangan timbangan
b. Kualitas  penyembunyian kecacatan obyek
c. Harga  memanfaatkan ketidaktahuan harga pasar
d. Waktu penyerahan  penjual tidak mengetahui secara pasti barang akan diserahkan kepada pembeli
Kaitannya dengan hadis Imam Muslim bahwa praktek jual beli dengan memotong jalur mekanisme perdagangan yang dibenarkan oleh prinsip ekonomi/bisnis Islam, bahwa dalam hadis tersebut dari maknanya yaitu "Janganlah dicegat pedagang; barang siapa mencegatnya lalu dibelinya suatu barang daripadanya, apabila pedagang itu tiba dipasar, maka penjual tadi diberi kesempatan antara akan meneruskan penjualannya tadi atau mengurungkannya". )
Kalau kita analisa bahwa Rasulullah Saw melarang umatnya dalam praktek perdagangan dengan cara "mencegat pedagang" dengan kata lain dilarang menghadang (al-Jalaba) orang desa di perbatasan kota. Karena pada zaman dahulu seringkali terjadi orang desa dihadang atau dihalang-halangi masuk kota, dan para tengkulak berusaha membeli barang orang desa itu, dengan harga yang ditetapkan oleh mereka, dengan intimidasi dan informasi mengatakan bahwa harga di kota sekarang ini sedang turun. Apabila tidak ditempat yang terbiasa (pasar) orang melakukan transaksi dalam barang-barang dagangan (bisnis) itu, maka tidak dibenarkan. Namun dalam konteks kekinian memberikan kontribusi bagaimana dalam proses aktivitas bisnis (dagang) Islam lebih mengedepankan etika berbisnis, dengan mengacu pada hukum atau ketentuan dalam hadis tersebut.
Selain itu juga sering kita jumpai praktek rekayasa pasar dalam demand (Bai’ Najasy) ), praktek tersebut terjadi bila seorang produsen/ pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk akan naik. Cara ini dapat dilakukan dengan cara:
1) Penyerbaran isu
2) Melakukan order pembelian
3) Pembelian pancingan sehingga tercipta sentimen pasar, bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali obyek yang sudah dibeli.
Oleh karena itu hadi Nabi Saw diatas jelas sekali bahwa beliau menerapkan mekanisme pasar perdagangan pada waktu itu adalah bagaimana Rasulullah Saw sebagai utusan Allah Swt yang memiliki keluhuran budi pekerti dan entitas moral kepribadian beliau terhadap aktivitas berdagang (bisnis) selama di Mekkah maupun sampai ke Syam.

C. PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat kiranya kita ambil benang merah seputar permasalahan jalur mekanisme perdagangan yang mengacu pada hadis Imam Muslim diatas, yaitu seputar kode etik dalam sistem perdagangan yang diterapkan oleh Rasulullah Saw kepada para shahabat pada zaman dahulu, bahwa Rasulullah Saw dalam memprekatekkan perdagangan mengedepankan etika/moralitas perilaku beliau dalam melaksanakan transaksi perdagangan (bisnis).
Sehingga pada zaman sekarang adalah bagaimana ketentuan hukum atau aturan yang telah digariskan oleh Rasullah Saw menjadi pedoman dalam melakukan aktivitas dan entitas bisnis. Lebih luas lagi bahwa prinsip ekonomi/bisnis Islam adalah menekankan pada aspek etika kegiatan ekonomi/bisnis, yaitu bagaimana setiap perilaku kita dalam kegiatan ekonomi/bisnis menerapkan seperangkat prinsip moral yang mebedakan yang baik dari yang buruk, dan menetukan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang individu.
Selain itu juga etika bisnis kadangkala merujuk kepada etika manajemen atau etika organisasi yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi, sebagaimana Sayyidina Ali r.a mengatakan:
الحــق بلا نـظام سـيـغلب البـاطـل بالنـظام
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, kami memohon kritik dan saran, guna perbaikan makalah ini dan dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan kita dalam memahami persoalan-persoalan hukum ekonomi/bisnis Islam, dengan upaya kontekstualisasi nilai-nilai prinsip ekonomi/bisnis Islam dimasa yang akan datang.






DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Abdul Husein at-Tariq, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, Yogyakarta, Magistra Insan Press, 2004

Abdullah Shonhaji, Terjemah Sunan Ibnu Majah, Semarang, CV Asy-Syifa', 1993

A. Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997

Buchari Alma, Dasar-dasar Etika Bisnis Islami, Bandung, Penerbit Alfabeta, 2003

Daniel W. Brown : Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Bandung, Mizan, 2000

Hasjim Abbas : Kritik Matan Hadis : Versi Muhaditsin dan Fuqoha>, Yogyakarta, Teras, 2004

H.A. Razak dan H. Rais Lathief, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1980

Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Hadis Di mata Orientalis : Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung, Benang Merah Press, 2004

Musthafa al-Siba’iy : Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam terj. Nurcholish Madjid, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995

M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, Angkasa, 1991

----------------------, Kaedah Kesahehan Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1988

Muhammad Ajjaj Khati>b, Ushu>l Al-Hadi>s, Ulu>muhu Wa Mustha>lhuhu, Beirut, Da>r Al-Fikr, 1409 H/1989

Muhammad Abu> Syahbah, Kutub As-Sittah, Terj. M. Husein Madhal, Yogyakarta, UD. Rama, 1989

M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1959

Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta, Unit Penerbitan dan Percetakan AMP YKPN, 2004

Muni>r Ba>labaki & Dr. Rohi Ba>labaki, Kamus al-Maurid; Arab-Inggris-Indonesia, pentj. Achamd Sunarto, Surabaya, Halim Jaya, 2006

Richard Burton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003

Radianti dan Entin Sriani Muslim (pentj), Hadis Di mata Orientalis : Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung, Benang Merah Press, 2004

Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, Jakata, Bulan Bintang, Januari, 1991


Baca Selanjutnya......
Posted under by | NO COMMENTS

RIBA DAN PERSPEKTIF PEMIKIRAN ULAMA *) (Analisa-Kritis Terhadap Konsep Bunga/Riba)

Written by Economic and Business Sharia Law on

A. PENDAHULUAN
Perbincangan riba dalam dinamika hukum Islam menjadi persoalan yang terus berkembang dan menjadi kajian yang serius ditengah carut marutnya sistem perbankan yang diusung oleh para banker dan pelaku bisnis konvensional. Sudah cukup lama umat Islam Indonesai, demikian juga belahan dunia Islam lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. ) Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan islam secara utuh dan total seperti yang ditegaskan Allah Swt, yang berbunyi :


                             . )

Dari ayat tersebut di atas dengan tegas mengingatkan bahwa selama kita menerapkan Islam secara parsial, kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu dari kenyataan bahwa 63 bank sudah ditutup, 14 bank di-take-over, dan 9 bank lagi harus direkapitalisasi dengan biaya ratusan triliun rupiah, Adalah saatnya kita meninggalkan sistem ekonomi ribawi dengan menerjemahkan kitab-kitab kuning dari rak-rak pondok pesantren menjadi manual operasi di bank, asuransi, pasar uang, dan pasar modal.
Oleh karena itu, dituntut adanya pemahaman baru terhadap ayat-ayat suci al-Qur'an tentang permasalahan riba ini, dan merupakan konsekuesi logis dari adanya dinamika dan dalektika hukum dengan prinsip rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Maka seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan seputar kajian hukum Islam dan semakin merebaknya lembaga ekonomi mikro yang berbasis nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, penulis akan mencoba menelaah lebih serius tentang diskursus riba dalam pandangan ulama dan cendikiawan muslim.


B. RIBA DAN PERMASALAHANNYA
1. Definisi Riba
Riba berasal dari bahasa Arab, secara bahasa bermakna "al-Ziya>dah yang berarti "tambahan" ). Dalam pengertian lain juga berarti "tumbuh dan "membesar". ) Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. )
Terjemahan lain secara harfiah dari kata riba dalam bahasa Arab adalah peningkatan, penambahan atau pertumbuhan, meskipun secara popular diterjemahkan sebagai bunga. ) Dalam kosa kata bahasa Inggris riba biasanya diterjemahkan sebagai "Usury", sedangkan bunga diterjemahkan sebagai interest. ) Sedangkan dalam glossary Islamic Banking; Theory Practice & Challenges, riba adalah "An excess or increase. Technically meaning an increase which is a loan transaction or in exchange for a commodity accrued to the owner (lender) without giving an equivalent counter-value or recompense ('Iwad) in return to the other party; every increase which is without an "Iwad or equal counter-value". )
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur'an, dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
                    •      )

Dari ayat tersebut mempunyai pengertian riba secara etimologi ini ) yaitu:
الربا فى اللغة هو الزيادة والمراد به فى لآية كل زيادة لم يقابلها عوض
Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur'ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Selain itu juga ulam jumhur sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzhab fiqhiyyah mendefinisikan sebagai berikut ) :
a) Badr Ad-Din Al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari :
الأصل فيه (الربا) الزيادة – وهو في الشرع الزيادة على أصل مال من غير عقد تبايع

b) Imam Sarakhsi, dari madzhab Hanafi
الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع
c) Raghib Al-Asfahani
الربا هو الزيادة على رأس المال
d) Imam An-Nawawi, dari madzhab Syafi'i
قال النواوي في المجموع .... قال الماوردى إختلف أصحابنا فيما جا ء به القرأن في تحريم الربا على وجهين, أحدهما : أنه مجمل فسوته السنة, وكل ما جائت به السنة من أحكام فهو بيان المجمل القران نقدا كان أو نسيئة. والثاني: أن التحريم الذي في القران أنما تناول ماكان معهودا للجاهلية من ربا النسا ء وطلب الزيادة في المال بزيادة الأجل ثم وردت السنة بزيادة الربا في النقد مضافا إلى ماجا ء به القران

2. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi 2 (dua). Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardl dan riba jahiliyyah ). Adapun penjelasan sebagai berikut:
a) Riba Qardl )
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid). Dengan kata lain bunga pinjaman meliputi beban atas pinjaman yang bertambah seiring dengan berjalannya waktu. )

b) Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

c) Riba Fadhi )
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d) Riba Nasi'ah )
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi ) yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

3. Konsep Bunga/Riba Dalam Perspektif Non-Muslim
Dalam diskursus riba tidak hanya menjadi persoalan masyarakat Islam, akan tetapi telah menjadi pemandangan serius sekitar 2000 tahun silam, yaitu di kalangan Yahudi, Yunani, Romawi, dan Kristen dari masa ke masa ), Adapun penjelasan sebagai berikut:

a) Konsep Bunga di Kalangan Yahudi )
Dikalangan Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelanggaran ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun Undang-undang Talmud. Seperti dalam Kitab Exodus (Keluran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
"Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebanakan bunga terahadapnya"

b) Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi )
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga 1 Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Sedangakan pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga abad IV Masehi, terjadi beberapa perbedaan pendapat; ada yang membolehkan dengan menggunakan istilah maximum legal rate, dan yang tidak membolehkan dengan istilah doble countable. Selain itu juga menurut salah satu tokoh filsafat Romawi yaitu Plato mengecam sistem bunga, dengan alasan : pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.




c) Konsep Bunga di Kalangan Kristen )
Dalam Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 ; 34-5, sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
"Dia jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu?orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."

1) Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abd I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama
2) Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Mereka juga mengaitkan dengan aspek-aspek lain, diantaranya, menyangkut jenis dan bentuk Undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan, serta perbedaan antara dosa individu dan kelompok. Dan mereka juga membedakan antara bunga menjadi interest dan usury, menurut mereka interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan.
3) Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)
Sedangkan pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis tersebut antara lain adalah John Calvin (1509 – 1564), Charles du Moulin (1500 – 1566), Claude Saumaise (1588 – 1653), Martin Luther (1483 – 1546), Melachton (1497 – 1560), dan Zwingli (1484 – 1531).
Adapun pendapat mereka dianataranya :
a. Dosa apabila bunga memberatkan
b. Uang dapat membiak
c. Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi
d. Jangan mengambil bunga dari orang miskin

4. Dasar Hukum Terhadap Larangan Riba
Dalam hierarki hukum Islam bahwa riba adalah haram hukumnya dengan jenis dan bentuknya. Larangan riba muncul dalam Al-Qur'an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda. Tahap pertama, bahwa riba itu bersifat negatif ), pernyataan ini disampaikan Allah Swt dalam surah ar-Ru>m; ayat 39, yang berbunyi:
       ••                

Ayat tersebut diturunkan di Mekkah, menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah Swt dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda ), Selanjutnya Allah swt telah memberikan isyarat akan keharaman praktek riba dikalangan masyarakat Yahudi ), hal ini sesuai dengan bunyi Surat An-Nisa>; ayat 161, yang berbunyi:
       ••        

Ayat ini diturunkan pada masa permulaan di Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya kitab-kitab terdahulu ). Pada tahap ketiga, Allah Swt mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu bersifat belipat ganda, dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 130, yang berbunyi:
         •    


Pada ayat tersebut yang diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga Hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya) ). Pada tahap yang keempat atau terakhir, Allah Swt menegaskan bahwa pengharaman riba secara total dengan segala bentuknya, ayat ini diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah Saw, mengutuk keras mereka mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar mengahapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, an mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan. )
Dari pemaparan diatas dengan jelas kita mengetahui bahwa Allah Swt dalam mengaharamkan riba dilakukan dengan cara bertahap menyesuaikan dengan bentuk perilaku perdagangan yang terjadi pada awal abad hijriah, dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan dalam bermuamalah.
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur'an, melainkan juga Al-Hadis}. Sebagaimana posisi umum hadis} yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur'an. Adapun hadis} Nabi Saw yang menjelaskan tentang keharaman riba diantaranya sebagai berikut :
عن أبي سعيد الخدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أربى الآخذ والمعطي فيه سواء

Artinya: "Diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan Pemberi sama bersalah." (H.R. Muslim). )

عن جابر قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلّم اكــل الربــا ومؤكله وكاتبه وساهديه وقال هم سواء

Artinya: "Dari Jabir Rsulullah Saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yangmencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama". )


5. Diskursus Pemikiran Ulama Dan Cendikiawan Tentang Riba
Perbincangan seputar riba masih terdapat perbedaan pendapat secara teori maupun aplikasi diantara para ulama madzhab dan cendikiawan. Menurut Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan ilat (penyebab) yang menyebabkan keharaman riba> fadl dan riba> nasi>'ah. ) Madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, riba fadl hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terahadap nilai harta. Maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadl. Lebih lanjut utama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa dasar keharaman riba fadl ini dititik beratkan kepada sadd az}-Z}ari>'ah yaitu menutup segala kemungkinan yang membawa kepada riba yang berakibat mudarat bagi umat manusia. )
Ulama Madzhab Maliki dan Syafi'i berpendirian bahwa ilat keharaman riba fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu yang dibentuk, seperti cincin atau kalung, dan apabila kelebihan tersebut dikaitkan dengan pembayaran tunda (bertenggang waktu), maka menjadi riba an-Nasi>'ah. )
Demikian juga pembahasan riba yang dilakukan oleh "Majma' Buhus al-Islamiyyah di Cairo, bahwa bank pada masa Rasulullah Saw belum dikenal, namun karena sifat bunga merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat ad'a>fa mud}a>'afah (berlipat ganda) apabila utang tidak dapat dibayar tepat waktu, maka lembaga ini menetapkan bahwa bunga bank termasuk kepada riba yang diharamkan oleh syara'. )
Selain itu pula dikalangan organisasi Islam di Indonesia dan para cendikiawan nusantara terdapat pula perbedaan pendapat, diantaranya:


a) Keputusan Muktamar Tarjeh Muhammadiyah Tahun 1989 di Malang )
Dari lembaga ini menyatakan bahwa ilat keharaman riba itu adalah ekploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Sebagaimana keputusan muktamar lembaga tersebut bahwa bunga bank itu bersifat musytabihah (meragukan), apabila banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta. Berbeda dengan bunga bank pemerintah yang bunga dari peminjam digunakan untuk kemaslahatan bersama bangsa Indonesia. Namun hal itu dibantah oleh Kasman Singodimedjo, bahwa menurutnya berdasarkan Konsideran Keputusan Tarjeh Muhammadiyah tersebut dengan ilat lalim, sebenarnya juga tidak dijumpai dalam bank swasta, maka keduanya semestinya dihalalkan, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.

b) Keputusan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung )
Keputusan Lajnah Bahsul Masail yang dilaksanakan di Bandar Lampung, para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga ank konvensional, yaitu dapat disimpulkan antara lain:
1) Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingganya hukumnya haram.
2) Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
3) Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram)
Maka dari berbagai pendapat dikalangan Nahdlatul Ulama, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati adalah yakni menyebut bunga bank adalah haram. Nama pada akhirnya dikalangan Nahdlatul Ulama Indonesia, mereka telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun pada bank swasta.

c) Pendapat Cendikiawan Nusantara yaitu:
1) Ahmad Hassan (Tokoh Persis) )
Menurutnya bahwa bunga bank yang ada di Indonesia, tidak termasuk riba yang diharamkan Al-Qur'an, karena unsur penganiayaan tidak ada.
2) Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (Tokoh Pembaharu Dari Sumatra Barat)
Menurut beliau bahwa bunga bank itu termasuk kepada kategori riba fadl, dan diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadl merupakan jalan kepada riba an-Nasi'ah. Oleh sebab itu keharaman riba fadl lebih bersiafat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau kebutuhan mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan "darurat itu membolehkan yang dilarang" dan " kebutuhan mendesak dapat menempati posisi darurat". )

3) Syarifuddin Prawiranegara (Tokoh Masyumi) )
Beliau menyatakan bahwa bunga bank tidak termasuk riba, karena pada dasarnaya bunga bank adalah jasa yang dikeluarkan atau dipungut dari dan untuk pembiayaan administrasi dari bank tersebut.

4) Muhammad Quraish Shihab (Mufassir Indonesia) )
Beliau menyatakan bahwa setelah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, menyimpulkan bahwa ilat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya (az}-Z}ulm), sebagaimana yang terdapat pada akhir ayat 279 surat al-Baqarah. Oleh sebab itu menurutnya, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang menagandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.


6. Analisa Kritis Terhadap Diskursus Bunga dan Riba
Dalam pembahasan ulama fikih klasik tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan antara bunga bank dan riba, karena sistem perekonomian dengan bank belum dikenal di zaman mereka. Pembahasan tentang bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literature fikih kontemporer. Sebagaimana dinyatakan oleh Wahbah az-Zuhaili, membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminology ulama klasik dalam berbagai madzhab fikih. Menurutnya, apabila standar riba yang digunakan adalah pandangan ulama madzhab fikih klasik, maka bunga bank termasuk riba an-Nasi>'ah, karena menurutnya, bunga bank tersebut termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu, dengan demikian hukumnya adalah haram mutlak. )
Selanjutnya menurut Muhammad Rasyid Rida, bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang riba, menyimpulkan bahwa tidak termasuk dalam pengertaian riba, jika seseorang memberikan orang lain harta (uang) untuk di investasikan sambil menetapkan kadar tertentu (presentase) baginya dari hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan salah seorang tanpa sebab, kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui penganiayaan dan ketamakan. )
Pada akhirnya dirkursus seputar riba telah sepakat para ulama dan cendikiawan, bahwa alasan mendasar mengapa Al-Qur'an menetapkan keharaman riba adalah untuk menegakkan suatu sistem ekonomi yang tidak lalim dan menindas. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi seluruh lembaga keuangan mikro maupun makro yang menjalankan sistem bunga bank, baik lembaga pemerintah maupun swasta.

C. PENUTUP
Demikianlah sekelumit pemaparan deskriptif-analisis terhadap konsep riba dalam dinamika pemikiran ulama dan cendikiawan baik yang berada di tanah air Indonesia amaupaun diseluruh dunia.
Dari pembahasan diatas dapat kiranya penyusun menyimpulkan beberapa hal yang menjadi koreksi dan menimbulkan tesis baru, berupa usulan dan gagasan yang perlu ditindak lanjuti (folloiw-up). Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut:
1. Riba dalam diskursus pemikiran ulama secara lidz-dzatihi adalah haram, yang dilarang dengan tegas oleh Allah Swt dalam firman-Nya.
2. Secara lebih sederhana riba adalah to have something out of nothing, dari sini timbul bunga yang riba dan yang bukan, yang haram dan yang masih halal.
3. Riba bukan hanya dilihat dari kasus bunga bank atau usury or interest atas jual beli atau pinjam meminjam, dan sewa menyewa. Akan tetapi perlu kita sadari bahwa aktivitas ekonomi berbasis kompetisi (competitive-based) ekstrimitasnya mengahalalan riba, dimana para pelakunya adalah para homo economicus yang memegang prinsip homo homini lupus, yang berpaham individualisme, liberalisme, dan berakhlak materialistic-kapitalistik.
4. Sedangkan aktivitas eakonomi yang harus kita bangun adalah ekonomi berbasis kerjasama, dimana berlaku kehidupan berdasarkan kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualty and brotherhood), para pelakuknya dikenal dengan homo ethicus sebagai homo khalifatullah yang berpaham kooperatisme dan mutualisme, yang ekstrimitasnya mengharamkan riba.
5. Kesepakatan pemikiran para Ulama dan Cendikiawan tentang diperbolehkannya bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun bank swasta, dengan alasan demi kemaslahatan umat dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dengan tidak adanya tindakan lalim dan menindas.
6. Dari pamaparan tersebut penyusun mempunyai satu gagasan yang perlu ditindak lanjuti lebih serius menyusun Undang-undang khusus mengenai Undang-undang Sistem Ekonomi Islam, atau minimal terdapat aturan hukum yang kuat di Negara yang mayoritas umat Islam ini.
7. Internalisasi nilai-nilai syari'at Islam dalam sendi-sendi ekonomi dan bisnis yang ada saat ini adalah sebuah keniscayaan dari pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Qur'an dan Hadis Nabi Saw.














DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Islamic Banking And Interest: A Study of Riba>, Leiden, 1996.

Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogayakarta: Dana Bhakti Wakaf, jilid ke-4, 2003

Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kita>b al-Ta'rifa>t Beirut: Maktabah Libnan, 1990

al-Raghib al-Asfahani, Mufrada>t fi Gha>rib al-Qur'a>n, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, tt

Fuad Al-Omar & Mohammaed Abdel Haq, Islamic Banking Theory, Practice & Challenges, London : Oxford University Press, 1996.

Maftuhin, M.Ag (pertj.), Menyoal Bank Syari'ah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Jakarta: Paramadina, 1996.

Mervvyn dan Latifah Algaoud (pentj.) Islamic Banking, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001

Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama & Cendikiawan, Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute, 1999.

Muslimin H. Kara, Bank Syari'ah Di Indonesia; Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syari'ah Yogykarta: UII Press, 2005

Tarek El-Diwany, The Problem With Interest; Sistem Bunga Dan Permasalahannya, Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2003.

Umar Chapra, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu, Beirut: Dar el-Fikr, cet. Ke-3, 1989.


Baca Selanjutnya......
Posted under by | NO COMMENTS