ANALISIS SEGI-SEGI HUKUM KONTRAK SYARI’AH DALAM BURSA BERJANGKA KOMODITI (Future Market Commodity Exchange)

Written by Economic and Business Sharia Law on Jumat, 11 September 2009

A. PENDAHULUAN
Problematika etika bisnis yang terjadi saat ini adalah seputar moral hazard terhadap aktivitas bisnis yang terjadi pada sistem dan struktur payung hukum (umbrella provosion). Sehingga bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup semata. Pada akhirnya yang terjadi di masyarakat saat ini adalah kesangsian-kesangsian terhadap ide moral dari suatu ajaran agama, yang telah melahirkan mitos-mitos dalam hubungan bisnis dan etika ), seperti mitos bisnis amoral, mitos bisnis immoral, mitos bisnis pengejar maksimalisasi keuntungan dan mitos bisnis sebagai permainan. )


Sebagaimana yang telah terjadi pada dewasa ini praktek bisnis yang terjadi di masyarakat masih banyak terjadi praktek tadlis (Unknown to one party) yaitu melanggar prinsip “an taraddin minkum”, setiap transaksi dalam Islam harus dilandasi pada prinsip kerelaan kedua pihak yang bertransaksi. Mereka harus memiliki informasi yang sama tentang barang/jasa yang diperjual belikan, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Term tadlis terjadi karena empat hal yaitu : pada aspek kuantitas yaitu terjadi pengurangan timbangan, aspek kualitas yaitu perilaku penyembunyian kecacatan obyek, penentuan harga yaitu senantiasa memanfaatkan ketidaktahuan harga pasar, serta penempatan waktu penyerahan yaitu pelaksanaan transaksi oleh pihak yang bertransaksi antara pembeli dan penjual tidak mengetahui secara pasti barang akan diserahkan kepada pembeli, dalam istilah fikih adalah ghaban. )

Begitu pula pelanggaran terhadap prinsip ”La> Taz}limu>na wala> tuz}lamu>n”, yaitu terjadi pada praktek yang melanggar prinsip ini adalah: pertama; rekayasa pasar dalam Supply (Ikhtikar), yaitu dengan mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan menimbun (entry barier), kedua; menjual harga lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan, ketiga; mengambil keuntungan lebih dibandingkan keuntungan sebelumnya.

Seperti halnya yang terjadi pada praktek bursa ) berjangka komoditi, yang merupakan stressing (mahallu al-Syahid) pada kajian kali ini yaitu pada aspek hukum kontrak pada perdagangan berjangka komoditi, yang dianalisis dari kajian hukum Islam, yang dikaji melalui penelusuran pendapat ulama fikih klasik maupun kontemporer.


B. PEMBAHASAN
1. Diskursus Bursa Berjangka Komoditi (Future Market Commodity Exchange)
Bursa komoditas (commodity exchange) mempunyai pengertian yaitu suatu asosiasi atau gabungan pedagang-pedagang yang mengadakan pasaran yang terurus dan teratur untuk pembelian dan penjualan komoditas tertentu, komoditas yang diperdagangkan tidak dibawa ke tempat transaksi dan tentang benar adanya komoditas disaksikan atau dinyatakan oleh dokumen-dokumen yang menerangkan banyaknya serta mutunya. )
Praktek perdagangan berjangka telah diselenggarakan lebih dari 150 tahun, di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat ), yang bertujuan untuk manajemen resiko dalam mengantisipasi kemungkinan rugi yang lebih besar yang dihadapi pelaku bisnis. Dan pada masa sebelum tahun 1972, kontrak-kontrak berjangka terjadi pada komoditi pertanian tradisional, seperti jagung, kopi, kakou dan ternak. )

Selanjutnya perdagangan berjangka meluas sampai ke negara-negara berkembang, termasuk bangsa Indonesia yang melahirkan aturan hukum mengenai perdagangan berjangka yaitu Undang-undang Nomo 32 Tahun 1997, tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, disusul dengan berdirinya perusahaan pertama perdagangan berjangka yaitu PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), yang mulai beroperasi pada tanggal 15 Desember 2001. )

Perdagangan pada commodity exchange pada mulanya adalah untuk tujuan hedging (lindung nilai) melalui pembelian serta penjualan dengan syarat penyerahan di kemudian hari apa yang dikenal dengan future trading ). Lazimnya sistem perdagangan ini yaitu pembeli (buyer) tidak melihat secara langsung jenis barang komoditas yang banyak diperdagangkan dalam bursa ini adalah gandum, gula, kopi, dan bahan-bahan baku serta hasil-hasil bumi lainnya yang dapat digolongkan dengan cermat berdasarkan mutu (kualitasnya). )

Selanjutnya, mekanisme operasional dalam bursa berjangka komoditi (Future Market Commodity Exchange), adalah pembeli melalui sebuah komisi dagang tertentu dapat mengetahui sifat, jenis, dan mutu barang yang ditransaksikan. Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, pelaksanaan transaksi dapat dilakukan dengan teleks, faksmili, telepon, internet, dan Blumberg. Setelah dilanjutkan penyerahan barang dikemudian hari (future), atau customer dapat menyimpannya pada commissioan house sebagai stock commodity yang dapat dijadikan objek transaksi oleh customer lainnya. )

Dalam bursa komoditas customer dapat menunjuk sales executive, yang bertugas sebagai memberikan pelayanan bagi kesinambungan transaksi yang akan dilakukan oleh customer, dengan pilihan demikian, customer sebagai pemilik modal yang akan menerima keuntungan dengan sistem bagi hasil, umumnya 40% : 40%, sedangkan 20% sisanya diberikan kepada komisi dagang sebagai fasilitas yang dipergunakan oleh customer. Dan komoditas yang ditransaksikan dijamin mutunya, termasuk ketepatan pembayaran dan pengawasan oleh lembaga keuangan Internasional yaitu International Clearing Commissioans House (ICCH) yang berpusat di London. )

Dalam perdagangan bursa berjangka komoditi (selanjutnya disebut PBK), menganut sifat future trading yaitu jenis perdagangan atau jual beli dengan penyerahan barang di kemudian hari, seperti yang lazim digunakan dalam bursa komoditi pada tahun 1840-an di kota Chicago. ) Pada perkembangannya produsen yang ada di kota Chicago dalam melakukan future trading ini digunakan sebagai sarana untuk melakukan hedging, yaitu strategi untuk mengurangi resiko yang diakibatkan oleh fluktuasi harga. )

Perkembangan selanjutnya, para speculator atau spekulan pemilik modal mulai melihat bahwa kontrak ini sangat menarik untuk dikembangkan menjadi instrument untuk spekulasi. Sehingga pada akhirnya speculator dapat mengambil alih resiko dari para petani, sejak itulah terjadinya future market sebagai pasar untuk spekulasi para spekulan, yang tidak hanya terbatas pada komoditi pertanian saja, tetapi perdagangan pada tingkat suku bunga (interst rate futures), indeks saham (stock indices futures), dan mata uang (currency futures). )

Dalam perdagangan “future trading” memiliki beberapa teknik konvensi, di antaranya:
1) Kontraknya tidak diakhir dengan penyerahan barang
2) Kontrak dapat diperjual-belikan sebelum jatuh tempo
3) Penjual dan pembeli tidak saling mengetahui sebelumnya, kecuali bilamana kemudian kontraknya tersebut akan diakhiri dengan penyerahan barang
4) Perdagangan berjangka ini pada hakikatnya memperjualbelikan kontrak dan digunakan untuk hedging, spekulasi, maupun manajemen likuiditas.

Dari teknik tersebut di derivasi baik dalam forward contract maupun future market, keduanya biasanya digunakan sebagai sarana bagi para investor atau spekulator untuk melakukan hedging, hal ini merupakan aktivitas transaksi yang menyangkut aksi beli (long position) dan aksi jual (short position) pada dua pasar yang terpisah (spot market dan futures/forward market) untuk mengurangi tingkat resiko.

Sedangkan penjelasan seputar PBK dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Bursa Berjangka Komoditi pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
Perdagangan berjangka komoditi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual-beli komoditi dengan penyerahan kemudian, berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atau Kontrak Berjangka.

Dalam pelaksanaan perdagangan berjangka komoditi di Indonesia, telah diatur mekanismenya oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), yaitu izin penyelenggaraan perdagangan berjangka komoditi pada bursa komoditi, dan standarisasi kontrak-kontrak berjangka terhadap produk bursa berjangka. )

Selanjutnya pada ayat (3), yaitu menjelaskan barang dagangan yang menjadi subyek kontrak berjangka yang diperdagangankan di bursa berjangka, yang kemudian penegasan komoditi yang dijadikan kontrak berjangka telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1999, tentang Komoditi yang Dapat Dijadikan Subyek Kontrak Berjangka, dalam Pasal 1 ditetapkan 2 (dua) jenis komoditi tersebut, yaitu kopi dan minyak kelapa, dan setahun kemudian ditetapkan dalam Keppres Nomor 72 Tahun 2000, yaitu menambahkan jenis komoditi yaitu play wood, karet, kakau, dan lada. )

Dalam Pasal 1 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU-PBK, menjelaskan bahwa bursa berjangka sebagai badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual-beli komoditi berdasarkan kontrak berjangka dan opsi atas kontrak berjangka. Kontrak berjangka sendiri didefinisikan sebagai suatu kontrak standar untuk membeli atau menjual komoditi dalam jumlah, mutu, jenis, tempat, dan waktu penyerahan di kemudian hari. Termasuk dalam pengertian kontrak berjangka ini adalah opsi atas kontrak berjangka, yaitu suatu kontrak yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli atau menjual kontrak berjangka atas komoditi tertentu pada tingkat harga, jumlah dan jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu dengan membayar sejumlah premi. )

Untuk lebih memahami kontrak perdagangan berjangka, kami berikan contoh sebagai berikut:
Ada sebuah usaha yang bergerak di bidang pertenunan dan membutuhkan bahan baku kapas misalnya, perusahaan ini tidak ingin membeli bahan baku sekaligus dalam jumlah amat banyak karena tidak adanya gudang tempat penyimpan atau karena kurangnya modal untuk membeli bahan baku tersebut sekaligus. Dilain pihak ia juga tidak ingin membeli bahan tersebut dari pasar spot (as-Suq al-Hadirah), mengingat fluktuasi harga yang tidak dapat diramalkan dan mungkin mengganggu keuangan perusahaan. Untuk mengatasi hal ini perusahaan tersebut dapat membeli kontrak komoditi yang diperlukannya itu melalui kontrak berjangak (futures contract/al-’Uqud al-Ajilah) dimana tanggal pengadaan komoditi itu di kemudian hari sesuai dengan tanggal diperlukan oleh perusahaan bersangkutan. Harga ditetapkan pada saat penetapan kontrak berdasarkan pada saat penutupan dan perhitungan kemungkinan perubahan harga di masa depan. Pada saat penutupan kontrak pembeli harus membayar margin, yaitu sejumlah uang semacam persekot (biasanya antara 5-18% dari nilai kontrak) sebagai jaminan transaksi tersebut. Sisa harga dibayar pada saat penyerahan barang. )


Selanjutnya, dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-Siyasah al-Maliyah, yakni politik hukum kebendaan, maksudnya adalah PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan era perdagangan bebas. Relisasi dari konsep tersebut adalah perlindungan terhadap pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat supremasi hukum yang dianut oleh negara kita, sebagai negara berdasarkan hukum (rechtstaat). )

2. Analisis Segi-segi Hukum Kontrak Syari’ah Dalam Bursa Berjangka Komoditi (Future Market Commodity Exchange)
Dalam perspektif hukum Islam, perdagangan berjangka komoditi (PBK), menurut pandangan ulama fikih klasik adalah pada penetapan syarat-syarat akad yang harus dipenuhi agar akad itu sah, di antaranya adalah pada waktu akad dibuat barang obyek akad harus ada pada penjual, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Saw yang melarang gharar ), hadis tersebut yang berbunyi sebagai berikut:
عن حكيم بن حزام قال سالتُ النبي صلى الله عليه وسلم فـقـلـتُ يـارسـول الله يـأتـيـنـي الرجلُ فـيسألونـي البـيـعَ ليس عندي أبيعُهُ منه, ثم أبـتـاعـه له من السوق قال لا تبع مالـيـس عندك (رواه النسائي)

Artinya: “Dari Hakim ibnu Hizam 9dilaporkan bahwa) ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw, kataku: Wahai Rasulullah, seorang dating kepadaku minta suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu (H.R al-Nasa’i).

Dari hadis ini, ada beberapa pendapat dari para ulama madzhab, seputar ‘barang yang tidak ada pada waktu akad’, yaitu sebagai berikut:
1. Al- Ka>sa>ni> (w. 587/1190) berpendapat bahwa barang yang tidak ada pada waktu akad dibuat, atau ada tetapi tidak dapat diserahkan, maka jual-belinya tidak sah.
2. seorang Ulama Hana>fi yang terkenal, mengatakan, “Adapun syarat yang berkaitan dengan obyek akad ada beberapa macam, di antaranya adalah hendaknya obyek itu ada (pada waktu akad), tidak terjadi jual-beli atas barang yang tidak ada atau kemungkinan tidak ada”
3. Asy-Sya>tibi> (w. 476/1086), seorang tokoh ulama Syafi’i, menyatakan, “tidak boleh menjual barang yang belum ada seperti buah yang belum keluar berdasarkan hadis Nabi Saw dari Abu Hurairah bahwasanya beliau melarang jual-beli barang gharar”, dan pada bagian lain asy-Syi>ra>zi> menjelaskan tidak boleh menjual barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung di udara… dan benda yang berada di tangan perampas.”
4. Ibn al-Qayyim (w. 751/1350) dari madzhab Hanbali, menurut beliau “tidak benar bahwa jual beli barang yang tidak ada barang dilarang, tidak terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun dalam fatwa Sahabat. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa hadis Nabi tentang larangan jual-beli terhadap gharar, causa legis (‘illat)-nya adalah bukan ada atau tidak adanya barang, tapi ketidakpastian tentang apakah barang itu dapat diserahkan atau tidak. Jadi meskipun barang tidak ada pada waktu akad, namun dapat diadakan pada waktu diperlukan, sehingga bias diserahkan kepada pembeli, maka jual-beli tersebut sah. Sebaliknya, meskipun barangnya sudah ada, tetapi karena suatu dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual-beli seperti itu tidak sah )

Selanjutnya, ditegaskan pula oleh para ulama fikih klasik bahwa obyek jual-beli harus merupakan barang yang dimiliki oleh penjual, atau mendapat izin dari pemilik akalu barang itu bukan milik penjual, sebagaimana hadis Nabi Saw yang disebutkan di atas. Dari ketentuan ini menurut al-Kha>tibi> (w. 388/998),seperti dikutip oleh Syamsul Anwar, dalam syarahnya terhadap Sunan Abi Dawud, yang dimaksud oleh hadis ini adalah larangan jual-beli ‘ain (benda yang sudah tertentu wujudnya), bukan jual beli dengan deskripsi (jual beli sesuatu yang berada dalam kesanggupan penjual), yang terakhir ini diperbolehkan, meskipun jual-beli benda tertentu (‘ain) yang tidak ada pada seseorang karena adanya gharar, seperti seseorang menjual untanya yang lepas (hilang) ). Termasuk larangan jual-beli barang yang tidak berada dalam tanggungan seseorang, seperti menjual barang yang dibelinya tetapi belum ia terima, juga termasuk ke dalam larangan ini adalah jual-beli barang milik orang lain melalui akad fuduli (akad orang yang bertindak tanpa kewenangan). )

Dari kedua pendapat al-Khatibi ini masih diperselisihkan oleh sebagian ulama fikih membolehkan dan yang lainnya melarangnya, yaitu dari kalangan Madzhab Malki, membolehkan kedua bentuk jual-beli itu, menurut Ibn Rusyd (w. 1198), sedangkan an-Nawawi, merinci menjadi 4 (empat) pendapat, tentang jual-beli yang belum diterima oleh pembeli; (1). Menurut madzhab Syaf’i tidak boleh, menurut pendapat Usman Ibn Affan (w. 35/656), Said al-Musayyab (w.94/713), Ahmad (w. 241/855), Ishak (w. 238/852), dan lain-lain, diperbolehkan kecuali barang-barang yag penjualannya dengan cara ditimbang. Sedangkan menurut Abu hanifah (w. 150/767), tidak boleh jual-beli barang yang belum diterima kecuali barang yang tidak bergerak seperti rumah dan tanah. (4) Imam Malik (w. 179/795), Ab-Saur (w. 240/854) dan Ibn al-Munzir (w. 318/930), diperbolehkan mensual barang yang Belem diterima kecuali barang makanan dan minuman. )

Dalam perspektif ulama fikih kontemporer permasalahan PBK dapat dimasukkan ke dalam kategori masalah-masalah hukum Islam kontemporer (al-Masail al-Mu’ashirah), karena itu status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah, yang masuk pada wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. )

Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ia menjelaskan bahwa fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni waktu, tempat, niat tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibnu Taimiyyah, yang menyatakan bahwa al-Haqiqah fi al-A’yan la fi al-Adzhan, artinya kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik, bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam al-Qur’an digunakan istilah al-Mizan, al-Qisth, al-Wasth, dan al-‘Adl. )

Selanjutnya, seperti dikutip Syamsul Anwar, bahwa sebagaimana diungkapka oleh Yusuf Mus, perihal permasalahan PBK, dalam karyanya al-Buyu’ al-Mu’malat al-maliyah al-Mu’ashirah, beliau menganalisa bahwa kontrak PBK tidak dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) salam )dalam fikih, analisa beliau bahwa kontrak ini tidak sama dan oleh karena itu tidak dapat di kategorikan sebagai salam, karena terdapat banyak perbedaan, misalkan dalam salam disyaratkan menyerahkan harga penuh dalam majelis akad ketika akad dilakukan, kesimpulannya bahwa pendapat Yusuf Musa dilandaskan pada pendapat Ibn al-Qayyim, yaitu “kontrak berjangka kapas di Mesir adalah sah secara syar’i dan tidak bertentangan sedikitpun dengan dasar-dasar dan asas-asas umum fikih serta tujuan syari’ah (maqa>s}id al-Syari>’ah) yang senantiasa berupaya mewujudkan maslahat individu dan masyarakat serta berupaya memberikan kemudahan dalam mu’amalat. )

Akhirnya dalam permasalahan PBK ini ulama fikih kontemporer, menegaskan bahwa motvasi perdagangan ini apapun bentuknya, benar-benar untuk tujuan hedging (lindung nilai) dari fluktuasi harga di masa depan dan buka untuk spekulasi.


C. PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat kiranya kita ambil benang merah seputar permasalahan perdagangan berjangka komoditi (future market commodity of exchange) yang mengacu pada hadis dari Abu Hurairah di atas, yaitu permasalahan akad dalam kontrak berjangka komoditi yang mengandung gharar , terhadap obyek akad itu sendiri, Rasulullah Saw, secara tegas melarang, namun yang menjadi perselaisihan adalah pada penafsiran hukum Islam (syari’ah) secara sempit tidak luas.

Sehingga pada zaman sekarang adalah bagaimana ketentuan hukum atau aturan yang telah digariskan oleh Rasullah Saw menjadi pedoman dalam melakukan aktivitas dan entitas bisnis. Lebih luas lagi bahwa prinsip ekonomi/bisnis Islam adalah menekankan pada aspek etika kegiatan ekonomi/bisnis, yaitu bagaimana setiap perilaku kita dalam kegiatan ekonomi/bisnis menerapkan seperangkat prinsip moral yang mebedakan yang baik dari yang buruk, dan menetukan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang individu. Selain itu juga etika bisnis kadangkala merujuk kepada etika manajemen atau etika organisasi yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi, sebagaimana Sayyidina Ali r.a mengatakan:
الحـق بـلا نـظام سيغـلب الباطـل بالنـظام
Dalam nilai-nilai pengamalan hadis Nabi Saw yang berkaitan etika berdagang menerapkan mekanisme pasar perdagangan adalah Rasulullah Saw sebagai utusan Allah Swt yang memiliki keluhuran budi pekerti dan entitas moral kepribadian beliau terhadap aktivitas berdagang (bisnis) dengan memperhatikan mekanisme transaksi dan pasar yang senantiasa menghindari persaingan yang tidak sehat (unstabilitas) dan mengandung unsur gharar dan maisir.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, kami memohon kritik dan saran, guna perbaikan makalah ini dan dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan kita dalam memahami persoalan-persoalan hukum ekonomi/bisnis Islam, dengan upaya kontekstualisasi nilai-nilai prinsip ekonomi/bisnis Islam dimasa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Hanafi Sofyan, Perdagangan Berjangka dan Ekonomi Indonesia, PT. Elex Media Komputindo

Juhaya S. Praya, Ijtihad Untuk Perdagangan Berjangka, (Jakarta: Bappebti, Bulletin Perdagangan Berjangka Komoditi), hlm. 1.

Johaness Arifin Wijaya, Bursa Berjangka, Andi Offset

John C. Hill, Introduction to Futures and Option Markets

Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2004

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual (Jawaban Tuntas Masalh Kontemporer) Jakarta: Gema Insan Press, 2003

Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: RM Books, 2007

--------------------, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Mu’malat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),

--------------------, Kontrak Berjangka Komoditi Dalam Perspektif Hukum Bisnis Islam Kontemporer, Jurnal Ekonomi Syari’ah vol. 2, 2003

www.ife.co.id/ind/bursaberjangka
www.bappenti.go.id/publikasi/br005.asp
www.bbj-jfx.com
www.inverstorindonesia.com

Posted under by | NO COMMENTS

No Responses to "ANALISIS SEGI-SEGI HUKUM KONTRAK SYARI’AH DALAM BURSA BERJANGKA KOMODITI (Future Market Commodity Exchange)"

Leave a Reply