RIBA DAN PERSPEKTIF PEMIKIRAN ULAMA *) (Analisa-Kritis Terhadap Konsep Bunga/Riba)

Written by Economic and Business Sharia Law on Jumat, 11 September 2009

A. PENDAHULUAN
Perbincangan riba dalam dinamika hukum Islam menjadi persoalan yang terus berkembang dan menjadi kajian yang serius ditengah carut marutnya sistem perbankan yang diusung oleh para banker dan pelaku bisnis konvensional. Sudah cukup lama umat Islam Indonesai, demikian juga belahan dunia Islam lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. ) Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan islam secara utuh dan total seperti yang ditegaskan Allah Swt, yang berbunyi :


                             . )

Dari ayat tersebut di atas dengan tegas mengingatkan bahwa selama kita menerapkan Islam secara parsial, kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu dari kenyataan bahwa 63 bank sudah ditutup, 14 bank di-take-over, dan 9 bank lagi harus direkapitalisasi dengan biaya ratusan triliun rupiah, Adalah saatnya kita meninggalkan sistem ekonomi ribawi dengan menerjemahkan kitab-kitab kuning dari rak-rak pondok pesantren menjadi manual operasi di bank, asuransi, pasar uang, dan pasar modal.
Oleh karena itu, dituntut adanya pemahaman baru terhadap ayat-ayat suci al-Qur'an tentang permasalahan riba ini, dan merupakan konsekuesi logis dari adanya dinamika dan dalektika hukum dengan prinsip rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Maka seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan seputar kajian hukum Islam dan semakin merebaknya lembaga ekonomi mikro yang berbasis nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, penulis akan mencoba menelaah lebih serius tentang diskursus riba dalam pandangan ulama dan cendikiawan muslim.


B. RIBA DAN PERMASALAHANNYA
1. Definisi Riba
Riba berasal dari bahasa Arab, secara bahasa bermakna "al-Ziya>dah yang berarti "tambahan" ). Dalam pengertian lain juga berarti "tumbuh dan "membesar". ) Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. )
Terjemahan lain secara harfiah dari kata riba dalam bahasa Arab adalah peningkatan, penambahan atau pertumbuhan, meskipun secara popular diterjemahkan sebagai bunga. ) Dalam kosa kata bahasa Inggris riba biasanya diterjemahkan sebagai "Usury", sedangkan bunga diterjemahkan sebagai interest. ) Sedangkan dalam glossary Islamic Banking; Theory Practice & Challenges, riba adalah "An excess or increase. Technically meaning an increase which is a loan transaction or in exchange for a commodity accrued to the owner (lender) without giving an equivalent counter-value or recompense ('Iwad) in return to the other party; every increase which is without an "Iwad or equal counter-value". )
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur'an, dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
                    •      )

Dari ayat tersebut mempunyai pengertian riba secara etimologi ini ) yaitu:
الربا فى اللغة هو الزيادة والمراد به فى لآية كل زيادة لم يقابلها عوض
Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur'ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Selain itu juga ulam jumhur sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzhab fiqhiyyah mendefinisikan sebagai berikut ) :
a) Badr Ad-Din Al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari :
الأصل فيه (الربا) الزيادة – وهو في الشرع الزيادة على أصل مال من غير عقد تبايع

b) Imam Sarakhsi, dari madzhab Hanafi
الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع
c) Raghib Al-Asfahani
الربا هو الزيادة على رأس المال
d) Imam An-Nawawi, dari madzhab Syafi'i
قال النواوي في المجموع .... قال الماوردى إختلف أصحابنا فيما جا ء به القرأن في تحريم الربا على وجهين, أحدهما : أنه مجمل فسوته السنة, وكل ما جائت به السنة من أحكام فهو بيان المجمل القران نقدا كان أو نسيئة. والثاني: أن التحريم الذي في القران أنما تناول ماكان معهودا للجاهلية من ربا النسا ء وطلب الزيادة في المال بزيادة الأجل ثم وردت السنة بزيادة الربا في النقد مضافا إلى ماجا ء به القران

2. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi 2 (dua). Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardl dan riba jahiliyyah ). Adapun penjelasan sebagai berikut:
a) Riba Qardl )
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid). Dengan kata lain bunga pinjaman meliputi beban atas pinjaman yang bertambah seiring dengan berjalannya waktu. )

b) Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

c) Riba Fadhi )
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d) Riba Nasi'ah )
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi ) yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

3. Konsep Bunga/Riba Dalam Perspektif Non-Muslim
Dalam diskursus riba tidak hanya menjadi persoalan masyarakat Islam, akan tetapi telah menjadi pemandangan serius sekitar 2000 tahun silam, yaitu di kalangan Yahudi, Yunani, Romawi, dan Kristen dari masa ke masa ), Adapun penjelasan sebagai berikut:

a) Konsep Bunga di Kalangan Yahudi )
Dikalangan Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelanggaran ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun Undang-undang Talmud. Seperti dalam Kitab Exodus (Keluran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
"Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebanakan bunga terahadapnya"

b) Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi )
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga 1 Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Sedangakan pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga abad IV Masehi, terjadi beberapa perbedaan pendapat; ada yang membolehkan dengan menggunakan istilah maximum legal rate, dan yang tidak membolehkan dengan istilah doble countable. Selain itu juga menurut salah satu tokoh filsafat Romawi yaitu Plato mengecam sistem bunga, dengan alasan : pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.




c) Konsep Bunga di Kalangan Kristen )
Dalam Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 ; 34-5, sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
"Dia jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu?orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."

1) Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abd I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama
2) Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Mereka juga mengaitkan dengan aspek-aspek lain, diantaranya, menyangkut jenis dan bentuk Undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan, serta perbedaan antara dosa individu dan kelompok. Dan mereka juga membedakan antara bunga menjadi interest dan usury, menurut mereka interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan.
3) Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)
Sedangkan pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis tersebut antara lain adalah John Calvin (1509 – 1564), Charles du Moulin (1500 – 1566), Claude Saumaise (1588 – 1653), Martin Luther (1483 – 1546), Melachton (1497 – 1560), dan Zwingli (1484 – 1531).
Adapun pendapat mereka dianataranya :
a. Dosa apabila bunga memberatkan
b. Uang dapat membiak
c. Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi
d. Jangan mengambil bunga dari orang miskin

4. Dasar Hukum Terhadap Larangan Riba
Dalam hierarki hukum Islam bahwa riba adalah haram hukumnya dengan jenis dan bentuknya. Larangan riba muncul dalam Al-Qur'an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda. Tahap pertama, bahwa riba itu bersifat negatif ), pernyataan ini disampaikan Allah Swt dalam surah ar-Ru>m; ayat 39, yang berbunyi:
       ••                

Ayat tersebut diturunkan di Mekkah, menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah Swt dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda ), Selanjutnya Allah swt telah memberikan isyarat akan keharaman praktek riba dikalangan masyarakat Yahudi ), hal ini sesuai dengan bunyi Surat An-Nisa>; ayat 161, yang berbunyi:
       ••        

Ayat ini diturunkan pada masa permulaan di Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya kitab-kitab terdahulu ). Pada tahap ketiga, Allah Swt mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu bersifat belipat ganda, dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 130, yang berbunyi:
         •    


Pada ayat tersebut yang diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga Hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya) ). Pada tahap yang keempat atau terakhir, Allah Swt menegaskan bahwa pengharaman riba secara total dengan segala bentuknya, ayat ini diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah Saw, mengutuk keras mereka mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar mengahapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, an mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan. )
Dari pemaparan diatas dengan jelas kita mengetahui bahwa Allah Swt dalam mengaharamkan riba dilakukan dengan cara bertahap menyesuaikan dengan bentuk perilaku perdagangan yang terjadi pada awal abad hijriah, dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan dalam bermuamalah.
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur'an, melainkan juga Al-Hadis}. Sebagaimana posisi umum hadis} yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Qur'an. Adapun hadis} Nabi Saw yang menjelaskan tentang keharaman riba diantaranya sebagai berikut :
عن أبي سعيد الخدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أربى الآخذ والمعطي فيه سواء

Artinya: "Diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan Pemberi sama bersalah." (H.R. Muslim). )

عن جابر قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلّم اكــل الربــا ومؤكله وكاتبه وساهديه وقال هم سواء

Artinya: "Dari Jabir Rsulullah Saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yangmencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama". )


5. Diskursus Pemikiran Ulama Dan Cendikiawan Tentang Riba
Perbincangan seputar riba masih terdapat perbedaan pendapat secara teori maupun aplikasi diantara para ulama madzhab dan cendikiawan. Menurut Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan ilat (penyebab) yang menyebabkan keharaman riba> fadl dan riba> nasi>'ah. ) Madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, riba fadl hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terahadap nilai harta. Maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadl. Lebih lanjut utama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa dasar keharaman riba fadl ini dititik beratkan kepada sadd az}-Z}ari>'ah yaitu menutup segala kemungkinan yang membawa kepada riba yang berakibat mudarat bagi umat manusia. )
Ulama Madzhab Maliki dan Syafi'i berpendirian bahwa ilat keharaman riba fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu yang dibentuk, seperti cincin atau kalung, dan apabila kelebihan tersebut dikaitkan dengan pembayaran tunda (bertenggang waktu), maka menjadi riba an-Nasi>'ah. )
Demikian juga pembahasan riba yang dilakukan oleh "Majma' Buhus al-Islamiyyah di Cairo, bahwa bank pada masa Rasulullah Saw belum dikenal, namun karena sifat bunga merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat ad'a>fa mud}a>'afah (berlipat ganda) apabila utang tidak dapat dibayar tepat waktu, maka lembaga ini menetapkan bahwa bunga bank termasuk kepada riba yang diharamkan oleh syara'. )
Selain itu pula dikalangan organisasi Islam di Indonesia dan para cendikiawan nusantara terdapat pula perbedaan pendapat, diantaranya:


a) Keputusan Muktamar Tarjeh Muhammadiyah Tahun 1989 di Malang )
Dari lembaga ini menyatakan bahwa ilat keharaman riba itu adalah ekploitasi pihak pemodal (bank) terhadap yang lemah. Sebagaimana keputusan muktamar lembaga tersebut bahwa bunga bank itu bersifat musytabihah (meragukan), apabila banknya adalah bank swasta, bahkan cenderung mengharamkan bunga bank swasta. Berbeda dengan bunga bank pemerintah yang bunga dari peminjam digunakan untuk kemaslahatan bersama bangsa Indonesia. Namun hal itu dibantah oleh Kasman Singodimedjo, bahwa menurutnya berdasarkan Konsideran Keputusan Tarjeh Muhammadiyah tersebut dengan ilat lalim, sebenarnya juga tidak dijumpai dalam bank swasta, maka keduanya semestinya dihalalkan, asal tidak ada unsur penganiayaan atau penindasan.

b) Keputusan Lajnah Bahsul Masail Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung )
Keputusan Lajnah Bahsul Masail yang dilaksanakan di Bandar Lampung, para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga ank konvensional, yaitu dapat disimpulkan antara lain:
1) Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingganya hukumnya haram.
2) Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
3) Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram)
Maka dari berbagai pendapat dikalangan Nahdlatul Ulama, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati adalah yakni menyebut bunga bank adalah haram. Nama pada akhirnya dikalangan Nahdlatul Ulama Indonesia, mereka telah menyepakati bahwa bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan, baik bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun pada bank swasta.

c) Pendapat Cendikiawan Nusantara yaitu:
1) Ahmad Hassan (Tokoh Persis) )
Menurutnya bahwa bunga bank yang ada di Indonesia, tidak termasuk riba yang diharamkan Al-Qur'an, karena unsur penganiayaan tidak ada.
2) Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (Tokoh Pembaharu Dari Sumatra Barat)
Menurut beliau bahwa bunga bank itu termasuk kepada kategori riba fadl, dan diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat. Karena menurutnya, riba fadl merupakan jalan kepada riba an-Nasi'ah. Oleh sebab itu keharaman riba fadl lebih bersiafat preventif dan dibolehkan apabila darurat atau kebutuhan mendesak; sesuai dengan kaidah fikih yang mengatakan "darurat itu membolehkan yang dilarang" dan " kebutuhan mendesak dapat menempati posisi darurat". )

3) Syarifuddin Prawiranegara (Tokoh Masyumi) )
Beliau menyatakan bahwa bunga bank tidak termasuk riba, karena pada dasarnaya bunga bank adalah jasa yang dikeluarkan atau dipungut dari dan untuk pembiayaan administrasi dari bank tersebut.

4) Muhammad Quraish Shihab (Mufassir Indonesia) )
Beliau menyatakan bahwa setelah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, menyimpulkan bahwa ilat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya (az}-Z}ulm), sebagaimana yang terdapat pada akhir ayat 279 surat al-Baqarah. Oleh sebab itu menurutnya, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang menagandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.


6. Analisa Kritis Terhadap Diskursus Bunga dan Riba
Dalam pembahasan ulama fikih klasik tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan antara bunga bank dan riba, karena sistem perekonomian dengan bank belum dikenal di zaman mereka. Pembahasan tentang bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literature fikih kontemporer. Sebagaimana dinyatakan oleh Wahbah az-Zuhaili, membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminology ulama klasik dalam berbagai madzhab fikih. Menurutnya, apabila standar riba yang digunakan adalah pandangan ulama madzhab fikih klasik, maka bunga bank termasuk riba an-Nasi>'ah, karena menurutnya, bunga bank tersebut termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu, dengan demikian hukumnya adalah haram mutlak. )
Selanjutnya menurut Muhammad Rasyid Rida, bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang riba, menyimpulkan bahwa tidak termasuk dalam pengertaian riba, jika seseorang memberikan orang lain harta (uang) untuk di investasikan sambil menetapkan kadar tertentu (presentase) baginya dari hasil usaha tersebut. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan salah seorang tanpa sebab, kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha, kecuali melalui penganiayaan dan ketamakan. )
Pada akhirnya dirkursus seputar riba telah sepakat para ulama dan cendikiawan, bahwa alasan mendasar mengapa Al-Qur'an menetapkan keharaman riba adalah untuk menegakkan suatu sistem ekonomi yang tidak lalim dan menindas. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi seluruh lembaga keuangan mikro maupun makro yang menjalankan sistem bunga bank, baik lembaga pemerintah maupun swasta.

C. PENUTUP
Demikianlah sekelumit pemaparan deskriptif-analisis terhadap konsep riba dalam dinamika pemikiran ulama dan cendikiawan baik yang berada di tanah air Indonesia amaupaun diseluruh dunia.
Dari pembahasan diatas dapat kiranya penyusun menyimpulkan beberapa hal yang menjadi koreksi dan menimbulkan tesis baru, berupa usulan dan gagasan yang perlu ditindak lanjuti (folloiw-up). Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut:
1. Riba dalam diskursus pemikiran ulama secara lidz-dzatihi adalah haram, yang dilarang dengan tegas oleh Allah Swt dalam firman-Nya.
2. Secara lebih sederhana riba adalah to have something out of nothing, dari sini timbul bunga yang riba dan yang bukan, yang haram dan yang masih halal.
3. Riba bukan hanya dilihat dari kasus bunga bank atau usury or interest atas jual beli atau pinjam meminjam, dan sewa menyewa. Akan tetapi perlu kita sadari bahwa aktivitas ekonomi berbasis kompetisi (competitive-based) ekstrimitasnya mengahalalan riba, dimana para pelakunya adalah para homo economicus yang memegang prinsip homo homini lupus, yang berpaham individualisme, liberalisme, dan berakhlak materialistic-kapitalistik.
4. Sedangkan aktivitas eakonomi yang harus kita bangun adalah ekonomi berbasis kerjasama, dimana berlaku kehidupan berdasarkan kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualty and brotherhood), para pelakuknya dikenal dengan homo ethicus sebagai homo khalifatullah yang berpaham kooperatisme dan mutualisme, yang ekstrimitasnya mengharamkan riba.
5. Kesepakatan pemikiran para Ulama dan Cendikiawan tentang diperbolehkannya bunga bank yang terdapat pada bank pemerintah maupun bank swasta, dengan alasan demi kemaslahatan umat dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dengan tidak adanya tindakan lalim dan menindas.
6. Dari pamaparan tersebut penyusun mempunyai satu gagasan yang perlu ditindak lanjuti lebih serius menyusun Undang-undang khusus mengenai Undang-undang Sistem Ekonomi Islam, atau minimal terdapat aturan hukum yang kuat di Negara yang mayoritas umat Islam ini.
7. Internalisasi nilai-nilai syari'at Islam dalam sendi-sendi ekonomi dan bisnis yang ada saat ini adalah sebuah keniscayaan dari pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Qur'an dan Hadis Nabi Saw.














DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Islamic Banking And Interest: A Study of Riba>, Leiden, 1996.

Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogayakarta: Dana Bhakti Wakaf, jilid ke-4, 2003

Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kita>b al-Ta'rifa>t Beirut: Maktabah Libnan, 1990

al-Raghib al-Asfahani, Mufrada>t fi Gha>rib al-Qur'a>n, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, tt

Fuad Al-Omar & Mohammaed Abdel Haq, Islamic Banking Theory, Practice & Challenges, London : Oxford University Press, 1996.

Maftuhin, M.Ag (pertj.), Menyoal Bank Syari'ah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Jakarta: Paramadina, 1996.

Mervvyn dan Latifah Algaoud (pentj.) Islamic Banking, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001

Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama & Cendikiawan, Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute, 1999.

Muslimin H. Kara, Bank Syari'ah Di Indonesia; Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syari'ah Yogykarta: UII Press, 2005

Tarek El-Diwany, The Problem With Interest; Sistem Bunga Dan Permasalahannya, Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2003.

Umar Chapra, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu, Beirut: Dar el-Fikr, cet. Ke-3, 1989.


Posted under by | NO COMMENTS

No Responses to "RIBA DAN PERSPEKTIF PEMIKIRAN ULAMA *) (Analisa-Kritis Terhadap Konsep Bunga/Riba)"

Leave a Reply