ETIKA BISNIS DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN AL-GHAZA>LI># (Studi Analisis Terhadap Perilaku Bisnis Syari’ah di Indonesia)

Written by Economic and Business Sharia Law on Jumat, 11 September 2009

A. DASAR PEMIKIRAN
Sebagimana kita ketahui bersama bahwa Nabi ‎Muhammad Saw adalah seorang pedagang yang jujur dan adil dalam membuat perjanjian ‎bisnis. Ia tidak pernah membuat para pelanggannya komplen. Dia sering menjaga ‎janjinya dan menyerahkan barang-barang yang di pesan dengan tepat waktu. Dia ‎senantiasa menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi ‎dengan siapapun. Reputasinya sebagai seorang pedagang yang jujur dan benar telah ‎dikenal luas sejak beliau berusia muda.‎ Jauh sebelum Frederick W. Taylor (1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat ‎prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad Saw. sudah ‎mengimplementasikan nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktek bisnisnya ). ‎Ia telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan ‎seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya. Bagaimana gambaran ‎beliau mengelola bisnisnya, Afzalul Rahman dalam buku Muhammad A Trader, ‎mengungkapkan:



‎“Muhammad did his dealing honestly and fairly and never gave his customers ‎to complain. He always kept his promise and delivered on time the goods of quality ‎mutually agreed between the parties. He always showed a gread sense of ‎responsibility and integrity in dealing with other people”. Bahkan dia mengatakan: ‎‎“His reputation as an honest and truthful trader was well established while he was ‎still in his early youth”.‎

Dasar-dasar etika dan menejemen bisnis tersebut, telah mendapat legitimasi ‎keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang ‎diwariskan semakin mendapat pembenaran akademis di penghujung abad ke-20 atau ‎awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan dan kepuasan ‎konsumen (costumer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), ‎kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya ‎telah menjadi gambaran pribadi, dan etika bisnis Muhammad Saw ketika ia masih ‎muda.‎
Pada zamannya, ia menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip ‎kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan sehat. Ia tak segan-segan ‎mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statement yang tegas kepada ‎para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara, law enforcement benar-benar ‎ditegakkan kepada para pelaku bisnis nakal. Beliau pula yang memperkenalkan asas ‎‎“Facta Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan ‎perjanjian. Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan ‎transaksi, yang dibangun atas dasar saling setuju “Sesungguhnya transaksi jual-beli ‎itu (wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla) terhadap tindakan penimbunan ‎barang, beliau dengan tegas menyatakan: “Tidaklah orang yang menimbun barang ‎‎(ihtikar) itu, kecuali pasti pembuat kesalahan (dosa).
Nabi Muhammad sebagai debitor, tidak pernah menunjukkan wanprestasi ‎‎(default) kepada kreditur-nya. Ia kerap membayar sebelum jatuh tempo seperti yang ‎ditunjukkannya atas pinjaman 40 dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Bahkan kerap ‎pengembalian yang diberikan lebih besar nilainya dari pokok pinjaman, sebagai ‎penghargaan kepada kreditur. Suatu saat ia pernah meminjam seekor unta yang masih ‎muda, kemudian menyuruh Abu Rafi’ mengembalikannnya dengan seekor unta bagus ‎yang umurnya tujuh tahun.
Sebagaimana disebut diawal, bahwa penduduk Makkah sendiri memanggilnya ‎dengan sebutan al-Shiddiq (jujur) dan al-Amin (terpercaya). Sebutan al-Amin ini ‎diberikan kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai pedagang. Tidak heran jika ‎Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan ‎menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke ‎berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Ini dilakukan kadang-kadang ‎dengan kontrak biaya (upah), modal perdagangan, dan kontrak bagi hasil.‎
Bisnis dan perbagangan termasuk dalam kegiatan manusia yang terpenting, dan manusia adalah makhluk yang memerlukan teman dan kelompok. Bisnis dan perdagangan diperlukan karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup dengan sempurna, mampu menyediakan segala keperluan dan tuntutan hidupnya sendiri tanpa melibatkan orang lain. Oleh karena itu manusia saling memerlukan, bekerjasama dan saling tolong menolong.
Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rezeki supaya kehidupan mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia. Manusia hendaklah mencari rezeki yang halal. Firman Allah Swt, yang berbunyi sebagai berikut:
     •   (

Dalam beberapa hadis} Rasulullah SAW memberikan dorongan kepada umatnya untuk mencari rezeki dengan berusaha dan berdagang. Rasulullah sendiri adalah contoh seorang pedagang yang sukses. Ketika masih kecil beliau telah menemani pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam, bahkan beliau sendiri menjalankan bisnis milik Siti Khadijah ke Syam dan kembali dengan keuntungan yang besar. Ini adalah bukti kemampuan, kepercayaan dan amanah beliau sebagai pedagang. Para sahabat Rasul juga banyak yang menjadi pengusaha dan bussinessman yang sukses. Diantaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan lain-lain. Sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah SAW, yang artinya sebagai berikut :
“Pedagang yang amanah dan benar akan ada bersama dengan para syuhada di hari qiyamat nanti” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
“Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan oleh seseorang daripada yang dihasilkan oleh tangannya sendiri”. (HR. Bukhari)

Walaupun Islam mendorong ummatnya untuk berdagang, dan bahkan merupakan fardhu al-Kifayah, bukan berarti dapat dilakukan sesuka dan sekehendak manusia, seperti lepas kendali. Adab dan etika bisnis dalam Islam harus dihormati dan dipatuhi jika para pedagang dan pebisnis ingin termasuk dalam golongan para Nabi, Syuhada dan Shiddiqien. Keberhasilan masuk dalam kategori itu merupakan keberhasilan yang terbesar bagi seorang muslim.
Ummat Islam dalam kiprahnya mencari kekayaan dan menjalankan usahanya hendaklah menjadikan Islam sebagai dasarnya dan keridlaan Allah sebagai tujuan akhir dan utama. Mencari keuntungan dalam melakukan perdagangan merupakan salah satu tujuan, tetapi jangan sampai mengalahkan tujuan utama. Dalam pandangan Islam bisnis merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah dan merupakah fardlu kifayah, oleh karena itu bisnis dan perdagangan tidak boleh lepas dari peran Syari’ah Islamiyah.
Orang yang dikuasai oleh harta dan bisnisnya sehingga mengabaikan kewajiban terhadap Allah SWT adalah orang-orang yang iman dan akhlaqnya tipis, dan ini bertentangan dengan Syari’ah Islamiyah. Allah pernah menegur beberapa orang Islam zaman Rasulullah SAW. Pasalnya adalah ketika Rasulullah sedang menyampaikan khutbah Jum’at, mereka mendengar kedatangan kafilah yang membawa dagangan dari Syam. Kebetulan pada waktu itu kota Madinah sedang mengalami kekurangan makanan, sehingga mereka tidak sabar lagi untuk segera mendatangi kafilah tersebut, maka turunlah firman Allah Swt yang berbunyi sebagai berikut:
    •                   (

Demikianlah Allah Swt mencela perbuatan mereka yang mengabaikan kewajiban agama karena urusan bisnis. Adab dan etika bisnis hendaklah dijaga dan kewajiban terhadap Allah tidak boleh diabaikan. Setelah kewajiban ini ditunaikan Allah mendorong orang yang beriman untuk melanjutkan kegiatan bisnisnya, sambil terus mengingat Allah dalam setiap detak jantung dan denyut nadi.
Demikian beberapa batasan-batasan etika yang diberikan oleh Islam dalam kita menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan batasan-batasan tersebut kegiatan ekonomi dan bisnis kita akan memiliki nilai ibadah, hal ini sesuai dengan misi diciptakannya manusia. Sebagaiman firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون

Selanjutnya penulis akan memmaparkan fokus pembahasan utama seputar salah satu entitas bisnis yaitu etika Bisnis dalam pandangan Imam al-Ghazali, yang umumnya kita menegnal Imam al-Ghazali, sebagai seorang sufi besar yang membenci dunia. Namun tidak sedikit pula yang mengetahui bahwa beliau mempunyai konsepsi dalam soal kenegaraan dan pemerintahan, serta ekonomi-bisnis. Oleh karena itu penulis, akan mencoba menjelaskan salah satu entitas konsepsi ekonomi-bisnis yaitu etika dalam ekonomi dan bisnis menurut pemikiran al-Ghaza>li.

B. PEMBAHASAN
I. Riwayat Hidup dan Karya-karya al-Ghaza>li
Nama lengkap al-Ghaza>li adalah Muhammad Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Abu> Hami>d al-Ghaza>li al-Thu>si al-Sya>fi’i>, beliau terkenal sebagai Imam besar (hujjah al-Islam). Al-Ghaza>li dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung bernama gazalah, Tusia. Kampung itu terletak di suatu kota Khurasan, Persia. Al-Ghazali adalah keturunan asli Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Bani Saljuk yang memerintah daerah Khurasan Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Akhwaz. Ayahnya adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, berpropesi sebagai tukang tenun kain bulu (wol) dan sering mengunjungi rumah alim Ulama untuk menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Ayahnya sering kali berdoa kepada Allah Swt agar diberikan anak yang pandai dan berilmu, akan tetapi, belum sempat menyaksikan jawaban Allah SWT atas doanya tersebut, ayahnya meninggal tatkala al-Ghaza>li masih anak-anak. )
Sejak kecil al-Ghaza>li dikenal sebagai anak pencinta ilmu pengetahuan dan sangat gandrung mencari kebenaran hakiki. Sekalipun diterpa duka cita cobaan dan nestapa. Setelah mengabadikan diri untuk ilmu pengetahuan dalam kurun waktu berpuluh-puluh tahun lamanya. Dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, al-Ghaza>li meninggal dunia di Thus, pada 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M, dihadapan adiknya, Abu Ahmad Mujid Ad-Din. Al-Ghazali meninggalkan tiga orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang bernama Hamid, yang telah meninggal dunia sejak kecil sebelum wafatnya al-Ghaza>li. Karena anak- laki-lakinya inilah al-Gha>za>li kemudian diberi gelar Abu Hamid (bapaknya si Hamid). )
Selain itu, al-Ghaza>li juga memberikan nasihat kepada para penguasa agar selalu memperhatikan kebutuhan rakyatnya serta tidak berprilaku zalim terhadap mereka. Ketika rakyat mengalami kekurangan dan tidak ada jalan untuk memperoleh penaghasilan hidupnya, penguasa wajib menolong dengan menyediakan makanan dan uang dari perbendaharaan Negara. Dalam hal pajak, al-Ghaza>li bisa-menoleransi pengenaan pajak, jika pengeluaran untuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas Negara yang telah tersedia. Bahkan, jika hal yang demikian terjadi, Negara diperkenankan melakukan peminjaman. )
Al-Ghaza>li merupakan sosok ilmuwan dan penulis yang sangat produktif, yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan sangat menyita perhatian dunia, baik kalangan muslim maupun non-muslim pada abad pertengahan, ditengarai bahwa pemikiran Raymond Martin, Thomas Aquinas, dan Pascall, banyak dipengaruhi pemikiran al-Ghaza>li. )
Paska wafatnya al-Ghaza>li berbagai hasil karyanya banyak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Latin, Spanyol, Yahudi, Perancis, Jerman, dan Inggris, dijadikan referensi oleh kurang lebih 44 pemikir Barat. Al-Ghaza>li diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya penanya, yang meliputi berbagai disiplin ilmu, diantaranya Logika, Filsafat, Moral (etika), Tafsir, Fiqh, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Tasawuf, Politik Administrasi, dan Perilaku Ekonomi-Bisnis. Namun demikian hingga saat ini hanya ditemukan sebanyak 84 (delapan puluh empat) karya, diantaranya: Ihya ’Ulu>m al-Di>n, al-Munqi>dz min al-Dlala>l, Taha>fut al-Fala>sifah, Minha>j al-’A>bidi>n, Qawa>id al-’Aqa>id, al-Mustashfa> min Us}u>l, Mi>za>n al-’Amal, Misyka>t al-Anwa>r, Kimi>a al-Sa’a>dah, al-Waji>z, Syifa al-Ghali>l, dan al-Tibr al-Masbu>k fi Nasi>ha>t al Muluk. )

II. Konsep Pemikiran al-Ghaza>li Tentang Etika Bisnis
Al-Ghaza>li yang hidup pada abad ke-12 (450-505 H/ 1058 -1111 M), membicarakan seputar konsep ekonomi-bisnis dalam Islam, beliau ungkap dengan cara-cara yang logis-analitis, serta dalam konteks modern yang sampai saat ini masih tetap up to date dalam maha karya beliau yaitu Ihya ’Ulum al-Din.
Pemikiran beliau memfokuskan etika ) bisnis pada perilaku individu yang dibahas menurut perspektif al-Qur’an, Sunnah, Fatwa-fatwa, Sahabat, dan Tabi’in, serta petuah-petuah para sufi terkemukan masa sebelum beliau, seperti Junaid al-Baghdadi, Dzun Nun al-Mishri, dan Harist bin Asad al-Muhasibi. )
Berkaitan dengan hal itu konsep pemikiran beliau adalah seputar “sosio ekonomi, yang beliau sebut sebagai “kesejahteraan sosial Islami”, yang berpangkal tolak pada konsep maslahat atau kesejahteraan sosial atau utilitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat, yang sangat sulit diruntuhkan dan yang telah dirindukan oleh para ekonom kontemporer. )
Selanjutnya menurut al-Ghaza>li, terlebih dahulu beliau menjelaskan seputar ‘hakikat dunia’ yang berkaitan dengan perilaku bisnis yang Islami, yaitu sebagai berikut:
أن الدنيا عبارة عن آحادها وليس كذلك أما الأعيان الموجودة التي الدنيا عبارة عنها فهي الأرض وما عليها قال الله تعالى ‏"‏ إنا جعلنا ما على الأرض زينة لها لنبلوهم أيهم أحسن عملاً ‏"‏ فالأرض فراش للآدميين ومهاد ومسكن ومستقر وما عليها لهم ملبس ومطعم ومشرب ومنكح‏.‏ ويجمع ما على الأرض ثلاثة أقسام‏:‏ المعادن والنبات والحيوان‏.‏ (

Menurut beliau hakikat dunia ada 3 (tiga) unsur, yaitu benda-benda (materi dunia)/ sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya pembangunan, maksudnya adalah sumber daya informasi dan sumberdaya jaringan, selanjutnya menurut beliau ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan. ) Sebagaimana firman Allah Swt, yang berbunyi:
إنا جعلنا ما على الأرض زينة لها لنبلوهم أيهم أحسن عملاً

Kemudian al-Ghaza>li menyatakan bahwa :

ولو عرف نفسه وعرف ربه وعرف حكمة الدنيا وسرها (

Pada bagian lain al-Ghaza>li menerangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan (kejahilan) dari unsur-unsur tersebut. Maka menurut al-Ghaza>li, Allah Swt telah menjadikan semua urusan dunia diberi peraturan dalam Negara dan untuk kepentingan rakyat, kalau semua berfikiran sadar dan mempunyai kemauan (political will), tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud ).
Dengan demikian al-Ghaza>li dalam pemikirannya seputar ekonomi-bisnis didasarkan pada pendekatan tasawuf, karen pada masa hidupnya orang-orang kaya, para pejabat pemerintahan yang berkuasa, sarat dengan pretise yang sulit menerima pendekatan fiqih dan filosofis dalam mempercayai yaum al-Hisab (Hari Pembalasan), yang beliau tuangkan dalam karyanya yang terdapat dalam kitab; Ihya ’Ulu>m al-Di>n, Mi>za>n al-’Amal, dan al-Tibr al-Masbu>k fi Nasi>ha>t al Muluk. )
Al-Ghaza>li, seperti cendikiawan terdahulu tidak terfokus pada bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Beliau melakukan perjalan studi keislaman secara luas dan mendalam untuk mempertahankan ajaran Islam. Oleh karena itu pemikiran beliau di bidang ekonomi-bisnis terkandung dalm berbagai studi fiqih-nya, karena ekonomi-bisnis Islam tidak terpisahkan dari fiqih Islam. )
Selanjutnya, pemikiran beliau tentang ’kesejahteraan sosial’ (maslahah) didasarkan kepada 5 (lima) tujuan dasar (maqashid al-Syar’iyyah) yaitu: agama (al-Din), hidup atau jiwa (al-Nafs), keluarga atau keturunan (al-Nasl), harta atau kekayaan (al-Mal), dan intelektual atau akal (al-’Aql), beliau menitikberatkan (mahallu syahid) pada tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat (maslahat al-Din wa al-Dunya). )
Al-Ghaza>li mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utulitas individu dan sosial yang tripartie, yakni kebutuhan (dlaruriyat), kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsiniyat), klasifikasi tersebut merupakan peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal, dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis. )
Selain itu pula beliau memandang tujuan akhir adalah keselamatan, namun beliau tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Dalam hal ini beliau menitik beratkan bahwa niat perilaku seseorang yang sesuai dengan aturan Ilahi dalam setiap aktivitas ekonomi dapat bernilai Ibadah. Pada akhirnya beliau menyatakan bahwa perkembangan ekonomi sebagai bagian dari kewajiban sosial (fard al-Kifayah) yang sudah ditetapkan Allah Swt, jika hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. )
Sebagaimana pernyataan ilmiah al-Ghaza>li seputar konsep pemikiran ekonomi-bisnis dalam konsep moralitas dalam perilaku ekonomi-bisnis (etika bisnis). Oleh karena itu untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan beberapa konsep pemikiran ekonomi (bisnis) beliau tersebut, sebagai berikut:

1) Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar (Honesty of Exchange and Market Evolution)
Al-Ghaza>li dalam konsep ini menyuguhkan pembahasan terperinci tentang peranan dan signifikansi aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela, serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan (demand) ) dan penawaran (supply) ) untuk menentukan harga dan laba. Menurut beliau pasar berevolusi sebagai bagian dari ’hukum alam’ dari segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi sebagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Seputar kedalam dan keluasan pandangan beliau dapat kita lihat dari kutipan kitab Ihya ’Ulum al-Din tentang ilustrasi konsep perdagangan regional, yang berbunyi sebagai berikut:
Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi oleh pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.‏ )

Dengan demikian beliau menganut prinsip ”mutualitas” dalam pertukaran ekonomi, yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dari sumber daya, dengan maksud bahwa perdagangan memberikan nilai tambah terhadap barang-barang yang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Dalam hal ini al-Ghaza>li menyatakan bahwa kegiatan perdagangan merupakan hal yang esensial terhadap fungsionalisasi perekonomian, bahkan lebih jauh beliau menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin dan aman, serta beliau mengatakan bahwa negara seharusnya memberikan perlindungan, sehingga pasar dapat meluas dan ekonomi dapat tumbuh. )Pada penjelasan yang lain al-Ghazali menjelaskan secara eksplisit seputar perdagangan regional, adapun pendapat beliau tersebut adalah sebagai berikut:
"Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota dimana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. "Terciptalah kelas perdagangan regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga". )

Gambar pernyataan al-Ghazali ini adalah sebagai berikut:






Pernyataan beliau dari grafik diatas, walaupun tidak dalam term istilah kekinian (kontemporer) adalah bentuk kurva penawaran dan permintaan, untuk kurva penawaran yang ”naik dari kiri bawah ke kanan atas”, dinyatakan oleh beliau sebagai ”jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah.” )
Beliau juga mempunyai pandangan tentang etika pasar yang menitikberat pada kebenaran dan kejujuran, yang dapat diaplikasikan pada evolusi pasar dan peranan uang berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba fadhl, yakni karena melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran. Selain itu juga melarang membuat iklan palsu, pemberian informasi yang salah mengenai berat atau jumlah barang perdagangan yang merupakan bentuk penipuan, bahkan beliau mengutuk penipuan dalam mutu barang dan pemasaran, serta pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi harga (Talaqqi al-Jalba). )
Lebih jauh lagi al-Ghazali juga menekankan pada waktu transaksi di pasar bersikap lunak kepada orang miskin dan berlaku fleksibel dalam transaksi uang, bahkan membebaskan utang orang-orang miskin tertentu yang merupakan bentuk kebajikan. )



2) Produksi (Production)
Al-Ghazali juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap aktivitas produksi dalam masyarakat, termasuk hierarki dan karakteristiknya dalam koridor kewajiban sosial (Fardl al-Kifa>yah) terhadap kesejahteraan sosial (Maslahat li al-Ummah), yang menurut beliau bekerja merupakan bagian dari ibadah (ghairu mahdlah).
Untuk klasifikasi aktivitas produksi beliau menggambarkan yang hampir mirip dengan pembahasan kontemporer, yakni primer (agrikultur) ), sekunder (manufaktur) ), dan tersier (jasa). Secara garis besar beliau membagi aktivitas produksi menjadi 3 (tiga) kelompok ), yaitu:
a) Industri dasar, yakni industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia. Kelompok ini terdiri dari 4 (empat) jenis aktivitas, yaitu agrikultur untuk makanan, tekstil untuk pakaian, kontruksi untuk pakaian, dan aktivitas Negara yang termasuk penyediaan infrastruktur, untuk memfasilitasi dan meningkatkan produksi untuk barang-barang bahan pokok.
b) Aktivitas penyokong, aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar, seperti industri baja, eksplorasi dan pengembangan tambang serta sumber daya hutan.
c) Aktivitas komplementer, yakni berkaitan dengan industri dasar, seperti penggilingan dan pembakaran produk-produk agrikultur, seperti penggilingan padi, pembakaran pasir granit, pengolahan kimia pasir emas, nikel dan barang tambang lainnya.

3) Barter dan Evolusi ) Uang (Barter and Evolution of Money)
Al-Gha>zali dalam konsepnya seputar aktivitas bisnis adalah uang, lebih jauh beliau membahas seputar evolusi uang dan fungsinya, beliau juga menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter (al-Muqayadlah) ) yaitu pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, sebuah observasi beliau yang sudah ada jauh beberapa abad sebelum observasi yang dilakukan oleh Nicholas Osmer, Thomas Gresham, dan Richard Cantillon.
Dalam pembahasan sistem barter ini beliau mengeksplorasi problem tersebut dengan sangat komprehensif, yang dalam istilah kontemporer disebut sebagai:
a) Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator).
b) Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods), dan
c) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants). )
Probelmatika dalam pertukaran barter adalah terjadinya perbedaan karakteristik barang-barang, seperti unta dengan kunyit, beliau menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama. )
Problematika seputar etika bisnis adalah fenomena riba yaitu menurut al-Ghaza>li dipandang sama dengan bunga adalah mutlak, argumennya adalah kemungkinan terjadi ekploitasi ekonomi dan ketidakadilan dalam transaksi, baik dalam pinjaman bungan maupun yang transaksi yang terselubung. )
Dengan asumsi dari argument beliau tersebut bahwa terdapat 2 (dua) cara dimana bunga dapat muncul bentuk yang tersembunyi, yang keduanya menurut beliau hukumnya haram. Adapun kedua cara tersebut yaitu: bunga akan muncul jika terjadi pertukaran antara emas dengan emas, tepung dengan tepung, dengan jumlah yang berbeda dan waktu penyerahan yang berbeda. Selanjutnya, jika waktu penyerahan tidak segera, dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba al-Nasiah (bunga yang timbul karena keterlambatan penyerahan barang), pada kasus lain jika jumlah komoditas yang dipertukarkan tidak sama tetapi pertukaran terjadi secara simultan, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-Fadl (bunga yang timbul karena kelebihan pembayaran). )
Namun menurut beliau, apabila pertukaran dengan jenis komoditas yang sama, seperti logam emas dengan perak atau bahan makanan seperti gandum, hanya riba al-Nasiah yang dilarang, sementara riba al-Fadl diperbolehkan. Sedangkan pertukaran antara komoditas dengan jenis yang berbeda, seperti logam dengan bahan makanan, keduanya dperbolehkan. )

4) Peranan Negara dan Keuangan Publik
Walaupun al-Ghaza>li dalam perjalan hidupnya menghindari aktivitas politik, beliau memberikan komentar dan nasihat yang rinci mengeani tata cara urusan Negara, dalam hal ini beliau tidak ragu-ragu dalam menghukum penguasa. Beliau mengganggap Negara sebagai lembaga yang penting, tidak hanya bagi aktifitas ekonomi, namun untuk memenuhi kewajiban sosial (Fardl al-Kifayah) yang telah diatur dalam wahyu, seperti pernyataan beliau, sebagai berikut:
Negara dan agama adalah tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya, dan penguasa yang mewakili Negara adalah penyebar dan pelindungnya; bila salah satunya lemah, masyarakat akan ambruk. )

Al-Ghazali tidak membahas denan menggunakan istilah modern, namun telah mengidentifikasi dengan jelas berbagai jenis fungsi ekonomi yang dijalankan Negara aitu dengan menitikberatkan (mahallu syahid) pada peningkatan kemakmuran perekonomian dengan pertauran yang adil dan seimbang, menciptakan kedamaian, keamanan dan meletasikan stabilitas regional suatu Negara. Sebagaimana dikutip Adiwarman ), yakni:
“Bila terjadi ketidakadilan dan penindasan, orang tidak memiliki pijakan; kota-kota dan daeran-daerah akan menjadi kacau, penduduknya mengungsi dan pidah ke daerah lain, sawah dan ladang ditinggalkan, kerjaan menuju kehancuran, pendapat publik menurun, kas Negara kosong, dan kebahagiaan dan kemakmuran masyarakat menghilang. Orang-orang tidak mencintai penguasa yang tidak adil, alih-alih mereka selalu berdo’a semoga kemalangan menimpanya”.

Beliau juga berpendapat Negara harus menciptakan kondisi keamanan internal dan eksternal, untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Selain itu juga, beliau menulis secara rinci seputar lembaga al-Hisbah, yaitu sebuah badan pengawas yang dipakai di banyak Negara Islam pada waktu itu, menurut beliau tugas utama lembaga ini adalah untuk mengawasi praktek-praktek pasar yang merugikan, seperti praktik pengakuan palsu tenatang laba, iklan palsu, timbangan dan ukuran yang tidak benar, transaksi yang keterlaluan, kontrak yang cacat, transaksi barang-barang haram, dan semua kesepakatan yang mengandung penipuan (al-Taghyi>r) dan ketidakjelasan (al-Gharar). )
Penjelasan al-Ghazali tentang peranan Negara dan penguasa, beliau tuliskan dalam karya yang berjudul “al-Tibr al-Masbu>k fi Nasi>ha>t al Muluk”, didalam kitab ini beliau merekomendasikan kepada para raja atau penguasa dengan 10 (sepuluh) prinsip-prinsip keadilan dan perlakuan adil terhadap warga negara, setiap prinsipnya tidak hanya dibahas dalam perspektif Islam, tetapi juga didukung dengan ilustrasi dari Taurat Injil, dan juga sejarah Romawi, Yunani, dan Cina. Diantara 10 (sepuluh) prinsip-prinsip al-Ghazali tersebut adalah memperingatkan penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, sombong, terbuai oleh sanjungan, serta bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu. )
Berkaitan dengan keuangan publik beliau menegaskan dengan rinci dan pembahasan yang simetris antara kedua sisi anggaran, baik sisi pendapat maupun sisi pengeluaran. Sebagaimana pernyataan beliau yang dikutip Adiwarman , sebagai berikut:
”Keuangan publik di masa kita, seluruhnya atau sebagiannya, didasarkan pada sumber-sumber haram, kenapa? Karena sumber-sumber yang sah seperti zakat, sedekah, fai, dan ghanimah tidak ada. Jizyah juga diberlakukan, namun dalam pengumpulannya banyak dilakukan dengan cara ilegal, selain itu juga banyak retribusi yang dibebankan kepada umat muslim-adanya penyitaan, penyuapan, dan banyak ketidakadilan.”

Mengenai sumber-sumber keuangan publik beliau menekankan pada al-Amwal al-Masalih yaitu konsep pajak yang fleksibel yang berlandaskan kepada kesejahteraan masyarakat (Masa>lih al-Ijtima>’i), adapun konsep tersebut adalah sebagai berikut:
a) Pajak berupa ghanimah atau harta rampasan perang adalah pajak atas harta yang disita setelah atau selama perang.
b) Fai adalah kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan, dan
c) Jizyah adalah pajak yang dikumpulkan dari kaum non-muslim sebagai imbalan dari kedua keuntungan
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa negara dapat menetapkan pajak ”ekstrareligius” terhadap semua penduduk, melampaui sumber-sumber pendapatan yang diatur oleh agama, dan tergantung kepada kebutuhan masyarakat. Sehingga beliau memberikan sebuah pemikiran seputar permasalahan pajak dan administrasi pajak serta pembagian terhadap pembayar pajak, pejelasan beliau sebagaiman dikutip Adiwarman ) berikut:
”Penguasa jangan sampai memberi toleransi terhadap pemerasan atas warga negara oleh pejabat manapun... penguasan harus melindungi masyarakat, seperti ia menjaga rumahnya sendiri, sehingga masyarakat dapat menjadi makmur dan berkembang. Apa yang penguasa ambil dalam bentuk pajak harus sedang, dan apa yang diberikan harus sedang pula, karena masing-masing memiliki batas dan ukuran-ukurannya”.

Konsep al-Ghaza>li ini mengindikasikan hampir sama dengan konsep benefit received ) dan ability-to pay ) yang terdapat pada literatur-literatur masa kini (kontemporer). Beliau menyatakan bahwa basis quid-pro-quo (balasan, penggantian, ganti kerugian) dari pajak-pajak tertentu ketika beliau membahas pajak yang benefit-related dari jizyah, beliau menganjurkan konsep kemapuan membayar berdasarkan prinsip keadilan umum adalah sebuah sistem pajak yang sangat progresif.
Selanjutnya, al-Ghazali seorang yang sedikit ilmuwan pada masanya yang membahas Utang Publik sebagai pendapatan negara lainnya, seperti yang dikutip Adiwarman, yang beliau menyatakan:
”Seseorang tidak dapat menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam dari rakyat bila kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya adalah : jika penguasa tidak mengantisipasi pendapatan dalam Baitul Mal yang dapat melebihi apa yang dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya, maka atas dasar apa dan-dana itu dapat dipinjam ).”

Berkenaan dengan sumber pendapatan negara tersebut beliau bersikap fleksibel yaitu dengan melihat kondisi ekonomi, dimana utang publik terjadi, dan kemungkinan bagaimana jaminan pembayaran pengembalian utang publik tersebut di masa yang akan datang, seperti yang terjadi di pemerintahan pusat dan lokal Amerika Serikat yang dikenal dengan sistem revenue bonds. )
Sedangkan berkenaan dengan pengeluaran negara beliau bersikap kritis mengenai tata cara dan wilayah pengeluaran publik, yaitu beliau bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakkan keadilan sosio-ekonomi, keamanan, dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Untuk meningkat kondisi tersebut perlu pembangunan infrastruktur sosio-ekonomi, yaitu untuk membangun jembatan, bangunan keagamaan, jalan-jalan umum, yang semuanya dapat dirasakan oleh rakyat secara umumnya. Selain itu juga, beliau menyatakan bahwa pengeluaran publik difungsikan untuk pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan, dan pelayanan kesehatan. )

C. Analisis Terhadap Konsep Pemikiran Etika Bisnis al-Ghaza>li
Problematika bisnis yang terjadi saat ini adalah baik sebagai aktivitas maupun entitas, yang telah ada dalam sistem dan strukturnya yang "baku". Bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Etika telah dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis, dalam kenyataan itu, bisnis dan etika dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak kaitan, jikapun ada hanya dianggap sebagai hubungan negatif, dimana praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas, sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis, dengan demikian hubungan antara bisnis dan etika telah melahirkan hal yang problematis. )
Dalam kehidupan bisnis yang terjadi di masyarakat saat ini telah terjadi kesangsian-kesangsian terhadap ide moral dari suatu ajaran agama, yang telah melahirkan mitos-mitos dalam hubungan bisnis dan etika, seperti mitos bisnis amoral, mitos bisnis immoral, mitos bisnis pengejar maksimalisasi keuntungan dan mitos bisnis sebagai permainan. )
Sebagaimana fakta yang telah terjadi pada dewasa ini praktek bisnis yang di masyarakat masih banyak terjadi praktek tadlis (Unknown to one party) yaitu melanggar prinsip “an tara>ddin minkum”, setiap transaksi dalam Islam harus dilandasi pada prinsip kerelaan kedua pihak yang bertransaksi. Praktek tadlis terjadi karena empat hal: kuantitas yaitu pengurangan timbangan, kualitas yaitu penyembunyian kecacatan obyek, rekayasa harga memanfaatkan ketidaktahuan harga pasar, ketidakpastian waktu penyerahan yaitu penjual tidak mengetahui secara pasti barang akan diserahkan kepada pembeli. Selain itu juga sering kita jumpai praktek rekayasa pasar dalam demand (Bai’ Najasy>>). )
Keperihatian kita saat ini adalah pemerintah baik eksekutif, legislative dan yudikatif tidak menunjukan upaya yang maksimal dalam menciptakan law enforcement di Indonesia. Terbukti kelambagaan ekonomi dan keuangan kita masih lemah dari sisi payung hukumnya (umbrella provision). Maka diperlukan upaya sinergis antara para pejabat pemegang kekuasaan dan bebagai elemen masyarakat yang concern dalam upaya supremasi hukum Islam di Indonesia.
Selanjutnya, al-Ghaza>li juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap aktivitas bisnis dalam masyarakat, termasuk hierarki dan karakteristiknya dalam koridor kewajiban sosial (fardl al-Kifa>yah) terhadap kesejahteraan sosial (Maslahat li al-Ummah), yang menurut beliau bekerja merupakan bagian dari ibadah. Ini membuktikan etos kerja yang diciptakan beliau melalui upaya ekstrarelgius, artinya semangat mencari dunia jangan sampai terlena dengan pesan-pesan moral agama.
Beliau juga menyoroti eksistensi kelembagaan negara, menurut beliau tugas utama lembaga ini adalah untuk mengawasi praktek-praktek pasar yang merugikan, seperti praktik pengakuan palsu tenatang laba, iklan palsu, timbangan dan ukuran yang tidak benar, transaksi yang keterlaluan, kontrak yang cacat, transaksi barang-barang haram, dan semua kesepakatan yang mengandung penipuan (al-Taghyi>r) dan ketidakjelasan (al-Gharar), kalau kita lihat pada aspek struktural kelembagaan ekonomi dan keuangan bisnis syari’ah dei negara kita masih belum optimal, terbukti lembaga yang bernama Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini hanya hiasan saja dalam struktur kelembagaan negara kita, yang tidak jelas fungsinya ditengah-tengah kehidupan perekonomian dan bisnis di tanah air yang kita cintai ini.
Beliau juga berpendapat Negara harus menciptakan kondisi keamanan internal dan eksternal, untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Sehingga beliau merekomendasikan kepada para raja atau penguasa dengan 10 (sepuluh) prinsip-prinsip keadilan dan perlakuan adil terhadap warga negara, setiap prinsipnya tidak hanya dibahas dalam perspektif Islam, yang didukung dengan ilustrasi dari Taurat Injil, dan juga sejarah Romawi, Yunani, dan Cina. Diantara 10 (sepuluh) prinsip-prinsip al-Ghazali tersebut adalah memperingatkan penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, sombong, terbuai oleh sanjungan, serta bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu. Dari 10 (sepuluh) konsep etika bisnis Imam al-Ghazali konsep tersebut lebih lengkapnya sebagai berikut:
1. Eksploitasi dalam perilaku bisnis
2. Hilangnya prinsip kerelaan (‘an taradlin)
3. Adanya unsur penipuan dan kecurangan
4. Murah dan pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan
5. Mengurangi margin keuntungan dengan menjual lebih
6. Harga batil
7. Keuntungan sesungguhnya adalah di akherak kelak (filosofi religius)
8. Keuntungan dengan perhitungan resiko (perjalanan & keamanan) sebagai kompensasi, namun pemikiran imam al-ghazali belum negatur dengan biaya produksi dan resiko bisnis
9. 2 (dua) perilaku dalam perekonomian yang mengandung kerugian, yaitu:
a. Penimbunan barang
Penjualan makanan itu menyimpan makanan, yang dengannya ia menanti mahalnya. Dan itu kedzaliman yang umum, pelakuknya itu telah tercela menurut syara’. ) Sebagaimana hadis Nabi Saw yang berbunyi sebagai berikut:
من احتكر الطعام أربعين يوما ثمّ تصدق به لم تكن صدقته كفارة لاحتكاره
Artinya: “Barangsiapa menimbun 40 (empat puluh) hari kemudian mnyedekahkannya, maka sedekahnya itu tidak menghapus bagi (dosa) penimbunnya”.

b. Pemalsuan uang
Mengenai uang palsu beliau menekankan kepada para pedagang untuk mempelajari uang, buka agar mengetahui secara jauh untuk keuntungan dirinya, tetapi agar ia tidak menerahkan uang palsu kepada seorang muslim, padahal ia tidak megetahi, maka ia berdosa, karena kelalaiannya dalam mempelajari ilmu itu, karena setiap amal itu ilmu yang dapat menyempurnakan nasihat bagi orang-orang muslim, maka dihasilkannya ilmu itu. )
10. 4 (empat) perilaku bisnis yang mengandung kerugian ) yaitu:
a. Tidak memuji barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya (manipulasi barang).
b. Tidak menyembunyikan sama seklai cacat-cacatnya dan sifat-sifatnya yang tersembunyi sedikitpun.
c. Tidak menyembunyikan sedikitpun mengenai timbangan dan ukurannya.
d. Tidak menyembunyikan harganya, dimana seandainya orang yang bermu’amalah itu mengetahuinya niscaya ia mencegah terhadapnya/tidak mau melakukannya (manipulasi harga).
Selain itu juga meng-ilustrasi-kan konsep perdagangan regional yang ditawarkan al-Ghazali setidaknya dapat menjadi pelajaran bagi kita, karena menurut al-Ghaza>li dalam konsep ini menyuguhkan pembahasan terperinci tentang peranan dan signifikansi aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela, serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang balance, serta mengedepankan cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan sosial (al-Masa>lih al-’Ammah) yaitu untuk menentukan harga dan laba dengan cara berevolusi dari ’hukum alam’ dari segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi sebagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi (mutualitas).
Ironis sekali dari keteranga buku Menuju Tata Baru Ekonomi Islam (terbitan Malaysia, tahun 2001) ), bahwa 93% perdagangan dunia dikuasai oleh negara-negara bukan muslim, negri-negeri muslim hanya 7% perdagangan dunia. Padahal umat Islam hampir 20% dari penduduk dunia atau sekitar 1,2 milyar orang, idealnya paling tidak negara-negara Islam bisa menguasai 20% perdagangan dunia, bahkan lebih dari itu, karena hampir 70% sumber-sumber alam terdapat di negara-negara Islam. Selain itu juga dunia Islam mempunyai 70% cadangan minyak dunia dan menguasai 30% sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam memasok dan mensuply 42% permintaan petrolium (minyak) dunia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa negera-negara muslim memiliki potensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.
Dari gambaran tersebut jelas disatu sisi kita mempunyai potensi yang prospektif, namun disisi lain memprihatinkan dalam menciptakan ”kesejahteraan besama”, sebagaimana konsepnya al-Ghazali. Demikian pula peranan dan kiprah umat Islam dalam perdagangan di Indonesia yang umatnya berjumlah 85%, masih kecil yang mengusai sektor perdagangan yaitu sekitar 20-30%.

D. PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat kiranya kita ambil benang merah seputar etika bisnis menurut pandangan al-Ghaza>li, yaitu seputar kode etik dalam sistem ekonomi dan bisnis yang diterapkan oleh al-Ghaza>li pada zaman dahulu, bahwa al-Ghaza>li dalam memprekatekkan perdagangan mengedepankan etika/moralitas perilaku beliau dalam melaksanakan transaksi perdagangan (bisnis).
Sehingga pada zaman sekarang adalah bagaimana ketentuan hukum atau aturan yang telah digariskan oleh al-Ghaza>li menjadi pedoman dalam melakukan aktivitas dan entitas bisnis. Lebih luas lagi bahwa prinsip ekonomi/bisnis Islam adalah menekankan pada aspek etika kegiatan ekonomi/bisnis, yaitu bagaimana setiap perilaku kita dalam kegiatan ekonomi/bisnis menerapkan seperangkat prinsip moral yang mebedakan yang baik dari yang buruk, dan menetukan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang individu. Selain itu juga etika bisnis kadangkala merujuk kepada etika manajemen atau etika organisasi yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi, sebagaimana Sayyidina Ali r.a mengatakan:
الحـق بـلا نـظام سيغـلب الباطـل بالنـظام
Dalam nilai-nilai pengamalan al-Ghazali yang berkaitan etika bisnis yang harus dikendalikan juga oleh peran Negara dan agama yang menjadi tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya, dan penguasa yang mewakili Negara adalah penyebar dan pelindungnya, bila salah satunya lemah, maka masyarakat akan ambruk, sebagaimana pernyataan Ibnu Taimiyyah, yang berbunyi sebagai berikut :
تـصــرّف الإمـــام عـلى الـرعــيّة منـــوط بـالمصلــحة
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, kami memohon kritik dan saran, guna perbaikan makalah ini dan dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan kita dalam memahami persoalan-persoalan hukum ekonomi/bisnis Islam, dengan upaya kontekstualisasi etika dan pesan moral dari nilai-nilai prinsip ekonomi/bisnis Islam dimasa yang akan datang.

Posted under by , | NO COMMENTS

No Responses to "ETIKA BISNIS DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN AL-GHAZA>LI># (Studi Analisis Terhadap Perilaku Bisnis Syari’ah di Indonesia)"

Leave a Reply